Siapa Membunuh Putri (16) - Dipanggil Kapolresta | oleh: Hasan Aspahani



 Cerita Bersambung Karya Hasan Aspahani: Siapa Membunuh Putri bagian (16) - Dipanggil Kapolresta, sumber: disway.id


FERDY datang dengan surat dari Kapolresta. Orang nomor satu di Polresta Bortam itu ingin bertemu pemimpin redaksi Dinamika Kota.  Tanggal pertemuan disebutkan dalam surat itu, tempat di Maporesta. Keperluan: silaturahmi, menjalin komunikasi, dan membicarakan kemungkinan kerja sama.  Surat ditandatangani Kasi Humas.


“Kapan, Dur?” tanya Bang Eel.


“Besok. Kita datang, nggak, Bang?”




“Nggak usah. Telepon humasnya aja. Kau kenal dia kan? Ketemu dia aja dulu.”



Saya kenal Iptu Binsar, Kasi Humas Polresta Borgam. Orang dengan pribadi yang menyenangkan. Suka menyanyi, suaranya bagus sekali. Beberapa kali bertemu di acara formal tapi ia lebih senang menyisih dari keramaian dan berbincang santai dengan sejumlah wartawan.  Sosoknya menjadi berbeda apabila menggelar jumpa pers. Ia jadi kaku dan dingin, menjawab dengan amat berhati-hati, sehingga tampak tertutup.


“Kalau bicara di jumpa pers itu kan saya sedang tugas. Setuju atau tak setuju dengan apa isi rilis saya harus sampaikan itu sebagai kebenaran,” kata Iptu Binsar pada kami dalam sebuah percakapan.


“Oh, jadi bisa tidak benar ya, Pak?” kata seorang kawan.


“Itu bukan urusan saya sebagai petugas penyampai informasi,” katanya. “Apalagi terkait kasus hukum yang sedang diproses.”


  Saya bertemu dengan Iptu Binsar di sebuah restoran bagus di lantai teratas sebuah hotel baru di Nagata. Kaca keliling, bikin saya bisa lihat 360 derajat arah seluruh kota. Makanan sudah dipesankan oleh stafnya. Sehingga ketika dia datang, sebagian sudah terhidang. 


“Sendiri saja, Mas Dur? Pak Eel mana?” tanyanya. Dia pakai kemeja, tidak dengan pakaian dinas polisi. Mungkin dengan begitu dia ingin bikin suasana pertemuan kami lebih informal.


“Di kantor, Pak,” kata saya. Saya berbasa-basi dengan menceritakan agen kami yang dirampas korannya lalu dibakar.  Dia antusias bertanya itu terjadi di kawasan mana, kapan, dan apakah kami sudah melaporkan kejadian tersebut.


ADVERTISEMENT



“Menurutmu siapa pelakunya?” tanya Iptu Binsar.


“Kami dapat info ciri-cirinya dari agen kami. Siapa pelakunya kami tak tahu,” kata saya.



“Laporkan, ya. Nanti saya telepon kapolseknya. Jangan sampai isunya jadi ke mana-mana, apalagi dikaitkan dengan kasus yang lagi diberitakan heboh itu,” katanya.  Saya menelepon kantor, meminta Hendra menemui agen kami dan membawanya ke polsek untuk bikin laporan.


Iptu Binsar kemudian bicara langsung terkait undangan yang dikirim ke Dinamika Kota. Kata saya tak perlu undangan resmi begitu kalau memang mau bertemu kami. Kami bisa datang kapan saja. Atau bertemu di mana saja.


“Betul. Ini urusannya sudah sampai ke Mabes Polri,” katanya. “Situasi kamtibmas sedang memanas menjelang pemilu. Itu saja sebenarnya sudah menuntut kerja keras kita bersama.  Persaingan antar pendukung caleg, antar pendukung cawako, antarormas, sekarang sudah luar biasa ruwetnya. Ditambah lagi kasus pembunuhan Putri ini, yang sepertinya semua pihak mau menunggangi untuk kepentingan masing-masing...”


Saya berdiam mendengarkan. Menebak-nebak ke mana arah pembicaraannya. Tak sulit sebagaimana juga tak sulit untuk memahami apa maunya.  Yang saya tak paham adalah apa maksudnya “… ini urusannya sudah sampai ke Mabes Polri”?  


“Pak Binsar. Saya mau sampaikan, dan sebenarnya tak penting benar karena sudah jadi sikap kami dan jelas itu kami tunjukkan dalam pemberitaan kami, bahwa kami tak punya kepentingan apa-apa dalam pemberitaan kasus ini. Seperti kasus dan berita lain, bagi kami…”


“Oke, Mas Dur. Saya paham. Saya tahu posisi Mas Dur sebagai jurnalis dan saya hormati itu.  Saya tidak secara khusus mau bicara soal kasus pembunuhan itu. Begitu juga kalau nanti ketemu sama Pak Kapolresta…” kata Iptu Binsar.


Yang dicemaskan oleh Kapolresta, kata Iptu Binsar, soal potensi pecahnya kerusuhan. Di Kota Bortam ini sudah terjadi beberapa kali kerusuhan besar.  Penyebabnya kadang hanya persoalan sepele. Perkelahian preman, lalu kelompoknya terbawa-bawa. Perkembangan kasus pembunuhan Putri, hingga sidang hari pertama, seakan-akan hendak mengulang terjadi kerusuhan yang jauh lebih besar.


“Kami benar-benar tak menyangka bakal jadi seperti itu,” kata Iptu Binsar. “Itu yang diresahkan Pak Kaporesta, Mas Dur. Apa yang bisa kita lakukan untuk mengurangi kemungkinan pecahnya kerusuhan itu?”


“Saya tak bisa kasih saran polisi harus melakukan apa, Bapak tentu lebih tahu. Tapi kalau terkait pekerjaan kami, pers, yang kami yakini sederhana saja, Pak, publik kita itu kritis, maka tunjukkan pada publik bahwa kasus ini diproses dengan adil. Kami akan sampaikan itu apa adanya.  Sejak awal, publik curiga ada yang tidak beres. Putri hilang berhari-hari, baru kemudian dilaporkan, anak dan pembantunya ditemukan di hotel, itu juga tak jelas kenapa, lalu penetapan tersangka yang juga seakan-akan tidak dengan bukti yang cukup dan motifnya pun lemah.  Maaf, Pak, bukan mau mengajari Bapak, semua ketidakjelasan itu kami naikkan dalam berita kami,” papar saya.


Saya tak terlalu menyimak lagi apa yang disampaikan Iptu Binsar. Dua hal yang kuingat kubawa sebagai pertanyaan besar: Pertama, urusannya sudah sampai ke Mabes Polri; Kedua, kami benar-benar tak menyangka bakal jadi seperti itu.  Dalam hati saya bertanya kritis, lalu apa yang diharapkan polisi akan terjadi dengan semua proses yang mereka lakukan terkait kasus ini?


Di kantor, saya menyampaikan kepada Bang Eel, apa yang disampaikan Ipti Binsar dan apa yang kami bicarakan di pertemuan itu.  “Menurutmu kita harus datang atau tidak?” tanya Bang Eel.


 “Menurut saya tak usah, Bang. Surat itu sepertinya hanya untuk bukti administrasi bahwa mereka pernah meminta kita datang. Apa yang dibicarakan saya kira tak penting buat kita,” kata saya.


“Gitu? Yakin?”


“Ya, Bang. Kalau memang perlu, bisa ketemu di luar, atau mereka datang ke kantor kita.”


  Kami menyepakati sikap dan keputusan itu. Tidak perlu datang. Yang saya tidak tahu adalah, diam-diam Bang Eel datang juga menemui Kapolresta. Saya kemudian mengetahui itu dari Bang Jon.  Saya kerap singgah di kantornya yang nyaman.


Kantor majalah ada di lantai khusus, dalam satu gedung satu grup usaha yang mengelola banyak perusahaan. Di lantai bawah showroom mobil.  Berbeda jauh dengan suasana kantor kami.  Memang, kadang kita tak bisa mengandalkan penilaian sesaat.


Bang Jon yang dulu pernah tampak seperti monster yang dingin di mataku, kini menjadi sosok yang berbeda. Mungkin karena aku tak lagi seharian ke mana-mana bersama dia. Tapi memang ia berubah. Mungkin karena ia juga sudah menikah. Ia tak bikin pesta, hanya pemberkatan di gereja. Lalu undang beberapa kawan dekat makan-makan di rumahnya. Saya diundang dan saya datang. Rumahnya baru, besar dan nyaman sekali.  Rumahku yang sedang dibangun developer tak sebesar itu, rumah yang sebentar lagi akan selesai.


Hari itu ia minta saya datang bawa foto-foto terkait sidang pembunuhan Putri. Majalahnya membayar pada fotografer kami untuk tiap foto yang dimuat. 


“Aku kemarin ketemu Eel di Mapolresta. Saya nunggu ketemu Kapolres, eh, dia keluar. Agak kaget dia saya lihat. Kenapa, ya?  Kok kamu nggak ikut, Dur?” tanya Bang Jon.   


“Ah, Bang Jon tahulah, saya malas ketemu-ketemu pejabat begitu. Bagi-bagi tugaslah,” kata saya. 


Dunia jurnalistik saya adalah ruang pemberitaan. Dunia yang sempit, tapi dinamis. Ruang di mana liputan dirancang, berita diolah, wajah koran didesain, koran dievaluasi, dinilai baik-buruk isinya, ditinjau penjualannya.


Bertemu orang-orang di luar ruang pemberitaan, asal masih terkait dengan urusan berita saya tentu tak menolak.  Berita bagiku adalah tipping point, pengungkit kecil, yang apabila dilakukan pada hal yang tepat, akan membawa serangkaian perubahan besar.


Berita memang tidak serta-merta bisa mengubah keadaan. Berita adalah bahan awal bagi publik untuk jadi pertimbangan mengambil keputusan dan tindakan. Bayangkan kalau surat kabar kami memberi bahan yang tak sesuai fakta. Apa jadinya?  Dengan keyakinan seperti itu saya percaya pekerjaan saya ada faedahnya bagi publik luas. Itu saja cukup. 


Saya sering menyampaikan hal itu ke wartawan saya. Mungkin mereka bosan. Tapi itu sikap. Sikap untuk bersikap. Sikap yang menjadi dasar ketika ada persoalan yang menuntut kami harus menentukan sikap.


Saya ingat suatu hari saya pernah berbincang dengan Pak Indrayana Idris. Percakapan yang membentuk dan memengaruhi sikap saya.  Dia memang bisa muncul tiba-tiba saja di kota-kota di mana ada terbit koran grup kami. Ke Bortam, agak sering. Kota ini termasuk yang istimewa buat dia.  Kami duduk di kafe bandara, menunggu pesawat ke Jakarta.  “Menurutmu kebebasan pers itu milik siapa?”


Saya menjawab, “Milik kita, wartawan….”


“Bukan. Salah. Baca lagi UU Pers.  Kemerdekaan pers itu milik publik, milik rakyat yang merdeka. Rakyat di negeri yang merdeka. Kita wartawan hanya memakai, menggunakan, memanfaatkan kebebasan pers. Buat apa? Melayani kepentingan publik, si pemilik kebebasan pers itu,” katanya.


“Memakai kebebasan pers itu dengan sebaik-baiknya adalah cara kita merawat dan mengembangkan kebebasan itu. Itu juga ada di UU Pers, baca ya, nanti kita diskusi lagi,” kata Pak Indrayana Idris. Saya ingin lebih banyak berdiskusi, tapi dia sudah harus masuk pesawat. 


Manajer Hendra datang dengan laporan soal perampasan koran di agen kami.  Siapapun pelakunya mereka adalah pihak yang mengganggu kebebasan pers.  “Saya curiga pelakunya orang yang disuruh Podium Kota,” katanya.


Penjelasannya begini, ternyata perampasan koran terjadi lagi pada hari berikutnya, di agen-agen lain.  Ada pola yang sama: agen-agen itu tak mau menjual Podium Kota. Saya menanyakan hal yang sama pada Pak Halim, agen besar kami itu. “Anak-anak loper malas bawanya. Nambah berat aja. Susah jualnya. Returnya aja lebih dari separo,” katanya.  


Pada hari itu juga, di Podium Kota ada iklan ucapan satu halaman. Iklan yang tak lazim. Foto pernikahan Pintor dan Putri, tentu saja itu foto lama, dengan pakaian pengantin, disertai ucapan selamat hari ulang tahun pernikahan. Iklan itu dipasang oleh ibu dan ayah Putri. 


 Podium Kota juga memuat tulisan bersambung tentang kisah cinta Pintor dan Putri. Tampaknya indah dan manis. Tapi bagiku itu provokatif dan menyesatkan proses sidang yang berlangsung. Menggiring opini ke arah yang diinginkan oleh mereka yang sejak awal menyusun skenario membelokkan kasus ini.   “Kalau kita memberitakan dengan berita yang berbeda, kita sebenarnya tidak melawan siapa-siapa, kita sedang meluruskannya, mengembalikan ke proses yang adil,” kata saya di rapat redaksi hari itu. (Hasan Aspahani - Bersambung*)

Posting Komentar

0 Komentar