Siapa Membunuh Putri (11) - Tentang Inayah | oleh: Hasan Aspahani
Cerita Bersambung Karya Hasan Aspahani: Siapa Membunuh Putri bagian (11) - Tentang Inayah, sumber: disway.id
ADA waktu beberapa jam untuk berkunjung ke pesantren Alhidayah di Watuaji. Saya bisa berangkat sebelum duhur dan nanti sebelum asar kembali ke kantor. Ustad Samsu menelepon memintaku datang. Beberapa anak panti Abulyatama yang ditampung di sana akan dikhitan. Ada acara peresmian koperasi pesantren juga. Bantuan dari lembaga filantropi dari negara seberang.
Ustad Samsu juga mau mempertemukan saya dengan seorang guru baru. Sudah lama dia ceritakan, sejak gadis asal Sulawesi itu bergabung di Alhidayah. Saya tak terlalu bersemangat, bukan tak menghargai Ustad Samsu. Urusan persiapan Dinamika Kota benar-benar menyita energiku.
”Paling tidak kau temui dulu, Dur. Sainganmu banyak. Banyak guru-guru muda di sini. Soal kamu mau atau nanti berjodoh atau tidak itu urusan belakangan,” kata Ustad Samsu.
Ada tenda besar di depan bangunan toko pesantren. Kursi-kursi tamu di bagian belakang sebagian diramaikan anak-anak santri. Pejabat kecamatan dan wali kota sudah tiba. Ada perwakilan dari lembaga filantropi yang akan memberi sambutan dan secara simbolis menyerahkan bantuan berkelanjutan. Mereka mengelola dana dari umat muslim di negeri seberang tersebut. Ustad Samsu berpidato. Disusul pejabat Kantor Kemenag Provinsi.
Seremonial seperti itu membosankan bagi seorang jurnalis seperti saya. Saya paling malas kalau dapat tugas meliput acara seperti ini. Untungnya saya tidak sedang meliput. Saya berada di ruang lain di bagian bangunan sementara pesantren yang sedang dibangun. Ruangan yang nyaman dengan pendingin portabel.
Panitia semua berkumpul di situ. Juga Inayah. Guru yang disebut Ustad Samsu. Dia penanggung jawab acara peresmian koperasi pesantren Alhidayah. Dia juga yang akan jadi manajer yang bertanggung-jawab mengelolanya. Dia bekerja lincah, rapi, dan cepat. Dia mudah membuat orang-orang mengikuti arahannya. Ia memberi perintah dengan tegas, jelas, tapi nyaman, menggerakkan tapi nggak memaksa. Jelas kecerdasan tampak dari seluruh sosok dia yang muda dan manis.
”Bang Abdur mau makan duluan kah? Nanti kan mau pergi duluan kan ya?” tanyanya ramah, penuh perhatian, dan tersentuh juga perasaanku dengan perhatian kecil seperti itu. Pasti itu informasi dari Ustad Samsu. Saya sedang bersama beberapa anak panti dan Rido.
Saya tak enak juga makan duluan, karena ada anak-anak panti. ”Nanti saja, sama anak-anak, sama yang lain,” kataku menolak seramah mungkin agar tak menyinggung dia. Inayah tetap saja suruh orang letakkan kotak makanan di atas meja di depanku. Aku membiarkannya di situ.
Sementara itu perwakilan lembaga dari negeri seberang itu kini berada di panggung. Perempuan Melayu dengan pakaian muslimah melayu yang khas. Berdiri dan bergerak luwes. Kacamata hitam membuat dia tampak berkelas dan penuh percaya diri. Tampak amat matang dan dewasa. Pasti karena saya terus memikirkan gadis itu maka saya jadi berandai-andai, kalau saja dia tidak berkerudung, saya kira dia Suriyana, perempuan yang kutemui di Malang dulu, yang kuharapkan dengan datang dan bekerja di kota pulau ini bisa kucari dia suatu hari nanti di negeri seberang itu.
”Terima kasih, saya Suriyana Hameed, mewakili ….” Perempuan itu mengucapkan terima kasih saat gilirannya memberikan sambutan. Saya tak lagi mendengarkan apa isi pidatonya. Saya berdiri dari tempat duduk dengan serta-merta, dan dari tempatku berdiri menatapnya ke arahnya tak percaya.
Suara itu adalah suara Suriyana yang kudengar di Malang dulu. Yang menjawab dan bertanya dengan kemanjaan khas Melayu setiap kali kami berbincang sepanjang kebersamaan kami di kota dingin itu dulu. Percakapan sepanjang jalan, percakapan di tempat-tempat yang kami singgahi.
Saya terlambat menyadari bahwa saya menyukai dia, perasaan kehilangan itu justru hadir, menguat setelah dia kembali. Dalam hal cinta saya memang tak cekatan, lamban menyadari.
Ada beberapa foto ia tinggalkan, tapi saya ceroboh menghilangkannya. Foto itu juga hilang bersama surat yang ia kirim dan tak pernah aku balas. Ia mengirim surat setelah beberapa email yang kubalas ala kadarnya. Email itu kemudian tak tak kupakai lagi. Password-nya lupa. Bertahun setelah itu aku membodoh-bodohkan diriku. Tahun-tahun setelah meninggalkan Malang adalah fase hidupku yang kacau. Sebelum aku memutuskan berangkat dan bertarung hidup di kota pulau ini.
Ustad Samsu membiarkan kami makan bertiga di ruangan khusus kantor Pesantren. Ia sibuk dengan para pejabat. Saya dan Suriyana bergantian bercerita kepada Inayah tentang pertemuan kami di Malang. Dia tak bisa menyembunyikan perasaan rindu yang dia rasakan. Seperti saya juga. Dia yang dekat di hadapanku sangat berbeda dengan dia yang formal dan kaku tadi ada di panggung dan memberi kata sambutan tadi. Dia menjelma kembali menjadi seperti Suriyana yang kutemani di Malang dulu.
Inayah menyimak dengan antusias, bertanya dan tertawa, dengan sikap wajar seperti seorang sahabat baik, sahabatku, dan Suriyana. Dia kulihat turut berbahagia dengan setiap penggal cerita yang membahagiakan saya dan Suriyana.
Inayah seperti memberikan kesempatan padaku untuk berbahagia, menikmati kegembiraan karena bertemu lagi dengan Suriyana. Dia dengan halus memberi isyarat agar saya abaikan saja keberadaan dia saat itu, anggap saja dia tak ada, atau anggap saja dia sebagai bagian dari kegembiraanku bertemu kembali dengan Suriyana. Dia tak ingin kegembiraanku berkurang karena kehadiran dia.
Dengan mobil pesantren Inayah mengantar saya dan Suriyana ke pelabuhan. Atau tepatnya saya dan Inayah mengantar Suriyana ke pelabuhan. Apapun, saya, ya saya saat itu sedang sangat berbahagia. Suriyana tadi seperti menahan tangisan ketika bilang bagaimana dia mencariku dan terus merasa kehilangan karena tak bisa menemukan saya.
Saya seakan tak ingin habis bercerita tentang surat kabar yang sedang kumulai. Kami bertukar nomor ponsel. Dia berjanji berkemungkinan bisa datang tiap akhir pekan terkait aktivitas filantropi lembaga yang ia kelola.
Feri membawa Suriyana kembali. Saya membayangkan feri yang sama nanti merapat ke pelabuhan yang sama dan saya menunggu dia keluar di pintu kedatangan.
”Bang Abdur kembali ke kantor?” bertanya Inayah, setelah di mobil itu hanya tinggal kami berdua dan sopir. Saya mengiyakan. Dia melanjutkan, ”Senang ya, bisa ketemu teman lama. Teman seistimewa itu, bisa ketemu lagi, setelah lama menghilang. Pasti senang banget, ya,” kata Inayah.
Saya menyelidik apakah ada kandungan cemburu dalam kalimatnya itu? Sepertinya ada. Sedikit. Meskipun saya bisa melihat Inayah telah menyembunyikannya dengan sangat baik. Saya justru berharap itu tak ada. Tak ada apa-apa di antara kami. Belum ada. Kami baru saja ketemu tadi. Saya berharap memang pernah tak pernah ada hubungan apa-apa. Hormon di tubuhku terkunci dan sedang kembali bereaksi untuk Suriyani.
Ada banyak kiriman karangan bunga ucapan di kantor untuk edisi perdana Dinamika Kota. Penuh sepanjang jalan. Datang dari banyak orang, tokoh, kantor, dan lembaga. Bang Eel sedang memotretnya satu per satu. ”Dari mana aja, Dur? Tadi dicari, Bang Ameng… dia datang ke sini tadi. Itu papan ucapannya yang paling besar itu,” kata Bang Eel menunjuk papan nama yang paling besar, paling mewah, dengan nama Maestrocorps, di antara puluhan yang lain.
Bang Eel ajak rapat dengan pemasaran. Hendra Mangindaan, manajer pemasaran kami sebut angka lima belas ribu untuk cetak besok. ”Itu permintaan agen. Sebagian besar sudah bayar di depan,” katanya. ”Hari ini banyak yang minta tambah tak bisa kita layani.”
”Yakin, itu, Ndra?” kata Bang Eel.
”Yakin asal beritanya kayak hari ini. Lanjutkan soal pembunuhan itu,” katanya.
”Gimana, Dur?” tanya Bang Eel.
”Besok masih berita itu. Ada bahan berita yang sudah kita siapkan. Tapi pasti ada yang baru, kita tunggu teman-teman dari liputan. Saya masih andalkan Ferdy…,” kata saya.
”Katanya tadi humas Polres marah-marah, cari-cari wartawan kita,” kata Bang Eel. ”Ferdy tak meliput tadi?”
”Dia saya suruh bawa anak istrinya tidur di rumah saya, Bang! Harusnya dia meliput… Mau marah gimana, Bang? Kita ada konfirmasi. Kalau fakta kita salah hari ini mereka bantah. Nyatanya tadi Ferdy SMS saya polisi membenarkan bahwa itu mayat Putri, istri AKBP Pintor yang hilang itu,” kataku.
”Aman ya? Yang penting itu, sudah ada disebut nama tersangka?” kata Bang Eel.
”Belum. Pembantunya yang ditemukan di hotel sama anaknya ditahan, tak jelas sebagai apa. Katanya sih saksi,” kataku.
Tadi sempat juga berbincang dengan Mas Halim tentang penjualan koran-koran lain, koran baru Podium Kota pesaing itu dan koranku sebelumnya Metro Kriminal. Banyak retur, kata Mas Halim. ”Orang nggak nyangka ”Dinamika” bakal angkat headline itu, tahunya kan koran umum. Kalo gini terus tiap hari bisa cepet naik, bang oplahnya. Percayalah…,” katanya.
Saya agak tak nyaman dengan teman-teman di Metro Kriminal. Saya dulu memulai kerja sebagai jurnalis di koran itu. Bagaimana pun kami satu grup. Tapi secara profesional kami punya target masing-masing. Saya harus menyingkirkan perasaan tak nyaman itu.
Sore itu, semua reporter sudah kembali, kecuali yang masih menyelesaikan wawancara atau yang mengambil foto. Kecuali Ferdy.
Kemana Ferdy? Perasaanku tak nyaman. (Hasan Apsahani-Bersambung)
Posting Komentar
0 Komentar
Komentarnya harus pantun ya....