Siapa Membunuh Putri (24)- Tawaran Seratus Juta | oleh Hasan Aspahani
”KITA hubungi tim pengacaranya!” kata Ferdy. Ia punya kontak salah seorang anggota tim pengacara AKBP Pintor. Si pengacara membenarkan soal pemeriksaan, terkait pelanggaran etik, katanya, tapi tak mau berkomentar soal penetapan kliennya sebagai tersangka.
Saya menelepon Brigadir Hilmi, bertanya soal hasil otopsi mayat Putri di Palembang. Ia hanya memberikan satu keterangan penting, bahwa ada tujuh luka di tubuh korban, yang paling fatal, yang membuatnya tewas karena kehilangan banyak darah adalah luka di leher.
”Digorok, Pak?”
”Ya, itu bahasa koran. Luka memanjang di leher korban yang memutuskan kerongkongan.”
”Pelakunya siapa, Pak?”
”Sementara saya hanya bisa katakan bahwa tak mungkin Awang pelakunya. Meskipun itu perlu pembuktian di sidang nanti.”
”Kenapa, Pak?”
”Badan korban jauh lebih tinggi. Pelaku melakukan perbuatannya dari belakang. Hanya orang yang lebih tinggi atau sama tingginya, yang mungkin melakukannya... Dan orang yang lebih kuat, karena perlu tenaga yang luar biasa untuk memiting leher korban dengan satu tangan, dan tangan yang lain memegang pisau...”
Saya mengingat apa yang telah pernah kami beritakan. Putri itu mantan model. Foto-foto yang bisa kami dapatkan menunjukkan sosok dia dengan tubuh yang ideal untuk seorang peraga busana. Sementara Awang kira-kira lima belas atau dua puluh senti lebih rendah. Runi jauh lebih pendek. Dari foto saat AKBP Pintor dan Putri bersanding, yang dimuat semua surat kabar, orang bisa simpulkan siapa yang lebih tinggi dan berapa selisih tinggi keduanya.
”Itu semua barang buktinya sudah ditemukan ya, Pak?”
”Sudah ada sejak dari sidang sebelumnya.”
Saya menuliskan keterangan dari Brigadir Hilmi. Lalu saya serahkan pada Ferdy. Ia gabungkan dengan berita yang ia tulis, ia wawancara dengan sumber di kejaksaan yang sedang menyusun dakwaan baru. Termasuk kemungkinan tersangka baru, tanpa menyebutkan siapa. Kejaksaan berhati-hati, tapi memang tak ada kemungkinan tersangka lain kecuali AKBP Pintor. Beberapa satpam kompleks di TKP yang sempat ditangkap di awal pemeriksaan kasus sepenuhnya telah bebas dari dugaan keterlibatan.
Mereka malah memberikan banyak keterangan yang memberatkan AKPB Pintor. Misalnya, mereka diberi uang ”buat beli pulsa” yang cukup besar setelah penangkapan dan pemeriksaan. Beberapa mengaku disiksa agar mengaku. Mereka juga memberi kesaksian penting soal mobil yang keluar masuk kompleks, yang dipakai untuk membuang mayat Putri.
”Ini sumbernya siapa, Bang?” tanya Ferdy.
”Semua itu ketengan dari Brigadir Hilmi. Tapi kita tak boleh menyebut namanya. Coba tanya dan minta pendapat ke pengacara Awang dan Runi,” kataku. Ferdy menelepon Restu Suryono. Komentarnya menguatkan keterangan dan data yang kami peroleh. ”Ya, kami sudah mendapatkan informasi juga tentang hasil otopsi itu,” katanya, ”ini menguatkan pembelaan kami di sidang-sidang sebelumnya.”
Rapat redaksi memutuskan headline untuk edisi Dinamika Kota edisi esok: Hasil Otopsi: Awang Bukan Pembunuh Putri. Dengan subjudul: Leher Putri Digorok dari Belakang. Subjudul itu diusulkan Ferdy. Kami berdiskusi panjang soal subjudul itu. Ferdy bahkan mengusulkannya untuk dijadikan sebagai judul utama bukan subjudul. Keduanya adalah fakta baru.
Kami sepakat tetap dengan pilihan headline soal Awang, karena mengarahkan ke tersangka lain. Itu terasa lebih kuat dan membuka ke rangkaian running news berikutnya.
Saya menikmati suara derak-derak mesin cetak, di antara aroma bahan kimia dan bau tinta. Lintasan berlapis-lapis kertas koran yang melaju cepat dari melewati tower-tower pelat itu, sebelum sampai di pisau potong di akhir rangkaian dan kemudian melewati alat pelipat koran di titik paling ujung. Operator percetakan sesekali mengambil contoh hasil cetak, mengecek warna-warna hasil cetak per warna dasar, cyan, magenta, yellow, dan hitam, memastikan apakah pelat sudah terpasang dengan tepat.
Sesi akhir sudah tercetak lima ribu eksemplar ketika Bang Eel datang ke percetakan dengan sekantong besar nasi dan mie goreng bungkus untuk anak-anak percetakan. Ia meminta proses cetak di-stop. Ia minta waktu sepuluh menit kepada awak percetakan. Lalu mengajak saya bicara.
”Angkanya seratus juta!” katanya.
Itu jumlah yang ditawarkan agar kami mengganti headline. Saya pertama-tama heran bagaimana pengacara AKBP Pintor tahu soal headline itu.
”Tadi siapa yang menelepon pengacaranya?” tanya Bang Eel.
”Ferdy,” kataku. Tapi tak mungkin karena telepon itu mereka tahu apa judul headline kami besok. Pasti ada yang membocorkan. Mereka bahkan dapat kiriman fotonya, Bang Eel menunjukkan ke saya.
”Ini siapa yang kirim ke mereka?” tanyaku.
”Nggak pentinglah siapa. Ini gimana sikap kita? Kita terima tawaran mereka ini?”
”Bang, besok itu hari pertama kita jual dengan harga banderol eceran baru. Kalau headline diganti, saya tak tahu apa ada yang lebih kuat, dan pasti koran telat beredar besok, hancur pasar kita. Agen-agen sudah tahu makanya mereka naikin orderan,” kataku.
”Jadi kau tak setuju? Kita tolak aja? Soal ganti headline kan kita sudah pernah juga sebelumnya.”
”Memang pernah, tapi bukan karena tekanan dan berbau sensor kayak gini, Bang. Kita harus menolak. Merepotkan anak-anak percetakan. Kita harus manggil anak-anak desain, ganti pelat lagi, itu yang sudah tercetak lima ribuan dibuang? Repot, Bang!”
Bukan kerepotan itu yang terutama saya hindari tapi integritas yang terbeli. Sekali orang tahu berapa harga diri media kami, orang akan mudah mengukur berapa harus menawar sikap kami. Dan selamanya kami akan tergadai. Berita pembunuhan Putri ini belum selesai. Saya merasa ada tugas untuk mengawal kasusnya sampai pada vonis pengadilan.
Saya bertahan di percetakan sampai koran selesai dicetak. Ada kelegaan luar biasa melihat bagaimana koran-koran dikemas, dibungkus, diikat sebundel-sebundel, lalu dibagi-bagi sesuai orderan agen. Hari itu orderan dari agen naik hampir 20 persen. Hendra juga usul tambah oplah untuk promosi.
Tim pemasaran sedang garap pasar pelanggan di beberapa perumahan baru. Pulang dari percetakan saya tertidur sangat lelap. Mungkin karena terlalu capek dan puas rasanya karena saya merasa telah ambil keputusan yang benar, yang tak melawan hati nurani saya. Mungkin juga karena saya esok janji bertemu Inayah.
Orang tua Inayah datang lebih cepat ke Borgam.
”Katanya bulan depan?” tanyaku ketika Inayah mengabarkan rencana itu.
”Tahu tuh, tiba-tiba aja pengin datang lebih cepat. Bulan depan kelamaan katanya,” kata Inayah.
Saya ke Pesantren Alhidayah lagi, ketemu Inayah lagi karena kami sedang menyiapkan edisi percobaan majalah Manzilah. Uztad Samsu sangat bersemangat mendukung. Dana awal dia sisihkan dari dana operasional pesantren. Ia juga membentuk tim pemasaran dan iklan. Agak susah mendapatkan iklan untuk edisi pertama. Tapi lumayan ada beberapa yang mau pasang dengan diskon besar. Beberapa ormas Islam memasang iklan ucapan selamat. Sebagai konsultan saya optimistis dengan majalah ini. Tim yang saya bantu menyiapkannya bekerja dengan sangat baik. Tulisan-tulisan hanya perlu sedikit disunting.
”Mas Abdur siap, ya?”
”Siap apa? Peluncuran majalah?”
”Bukan. Ketemu Ayah...”
”Kayaknya kamu deh yang tak siap... Nanya terus,” kataku.
”Kalau saya minta Mas Abdur melamar saya ke Ayah siap juga kan?”
”Harus saat ketemu nanti ya?”
”Tuh, kan nggak siap.”
Saya siap melamarmu, Inayah. Tapi yang saya tak tahu apakah saya siap hidup bersamamu setelah lamaran dan pernikahan yang pasti akan kita tentukan kapan. Apa rencanamu? Apakah saya bisa menyesuaikannya? Kita harus bicara lebih dahulu. Saya belum punya apa-apa. Rumah yang akan saya cicil itu belum selesai dibangun. Paling tidak saya harus menunggu sampai rumah itu selesai.
Mungkin Inayah melihat dan memahami kecemasan saya. Dia tak bertanya lagi soal rencana melamar itu. Dia hari itu mengajak saya melihat rumah yang dijual. Iklannya ada di Dinamika Kota. Rumah tipe 70, dengan tiga kamar di kawasan perumahan yang sudah jadi.
”Siapa yang mau beli?”
”Saya, dong,” kata Inayah lantas tertawa. ”Bukan. Bukan saya. Ayah yang mau beli. Dia cepat-cepat ke sini karena mau lihat rumah. Sejak kemarin dia minta saya mencari. Ini yang sepertinya cocok dengan yang dia inginkan.”
”Beliau mau pindah ke sini?”
”Nanti tanya saja ke beliau, ya...”
Setelah diam sebentar saya seperti setengah sadar bertanya ke Inayah. ”Kalau nanti ayahmu bertanya tentang diri saya, saya harus cerita apa ya?”
”Oh, itu yang Mas Abdur cemaskan? Cerita saja apa adanya, Mas Abdur. Cerita saja seperti anak ke ayah. Jangan kayak wartawan dan narasumber. Sebagai latihan, cerita dulu deh ke saya. Saya saja belum tahu banyak tentang dirimu, Mas...,” kali ini Inayah bicara sangat serius.
Di tengah pembicaraan kami, Hendra menelepon.
”Koran kita hilang di pasar,” katanya.
“Hilang? Maksudnya gimana?”
“Ada yang memborong di agen-agen.”
“Waduh? Kapan tahunya?”
“Sejak pagi. Jam 7-an sudah banyak pelanggan yang lapor koran tak diantar. Kami cek ke agen ada yang membeli koran kita dengan harga mahal. Bahkan dengan ancaman dan paksaan. Untung tak semua agen mau,” kata Hendra.
“Terus?”
“Kami batalkan koran yang tadinya buat promosi.”
“Cukup?”
“Tak cukup. Tapi lumayanlah...”
Saya lekas mengaitkan aksi pemborongan koran dengan uang Rp100 juta yang semalam disampaikan Bang Eel. Apa ada kaitannya? Mungkin. Tapi bagaimana membuktikannya? Apa perlunya membuktikan itu? Untuk membuktikan bahwa ada pihak yang ingin membungkam kerja pers dengan menghalangi beredarnya berita tertentu untuk kepentingannya? Tapi siapa? Memakai tangan siapa? Rasanya tak mungkin Bang Eel terlibat menghambat peredaran korannya sendiri! (Hasan Aspahani)
Posting Komentar
0 Komentar
Komentarnya harus pantun ya....