Siapa Membunuh Putri (23) - Tersangka, Tapi... | oleh Hasan Aspahani



 Cerita Bersambung Karya Hasan Aspahani: Siapa Membunuh Putri bagian (24), Tersangka, Tapi.... sumber: disway.id

BEBERAPA kali saya menelepon Pak Rinto. Dia tak mengangkat. Saya mengirim SMS. Saya mau bertemu dengannya. Di saat-saat seperti ini, saya memerlukan pendapatnya. Seperti biasa. Tapi rasanya lebih dari sekadar minta pendapat itu kebutuhan saya. Saya memerlukan nasihat seorang yang saya tuakan. Orang yang menggantikan orang tua saya. Sosok yang nyaris tak pernah saya punya. 


Pak Rinto membalas SMS: "saya sedang berobat di Singapura. Nanti saya hubungi."  Saya membalas SMS-nya dengan ucapan doa agar beliau lekas sembuh.  Saya tak bertanya beliau sakit apa. Dengan jawaban singkat begitu, bahkan tak mengangkat telepon berarti beliau sedang tak ingin dihubungi. Mungkin sakitnya berat dan beliau benar-benar perlu istirahat.  


Pak Rinto setahu saya jarang sakit. Orangnya sehat. Sangat sehat untuk orang tua seumur dia, hampir 70 tahun umurnya.  Disiplinnya masih seperti polisi yang aktif. Olahraganya golf.  Pernah dia ajak saya ikut dia main golf. Kebetulan waktu itu saya sedang bikin tulisan tentang perkembangan pariwisata, termasuk lapangan golf di Borgam. Dia ajak saya ke Penangsa. ”Ini biaya membership-nya setahun berapa ya, Pak?”   


”Saya tak pernah tahu. Saya itu dikasih membership semua lapangan golf di sini. Gratis,” katanya lantas tersenyum. ”Makanya, kalau mau belajar main golf, biar saya ajarin. Main sama saya saja.” 


”Nggak cocok, Pak. Nanti kalau saya bisa, bisa kecanduan saya. Kalau bapak nggak ada kacau saya...,” kata saya.


”Kalau kamu serius nanti saya mintakan membership gratis seumur hidup buat kamu, Dur.” 


”Wah, jangan, Pak. Saya nemenin Bapak aja...,” kata saya. 


Pak Rinto makin tertawa, ”dasar wartawan ndeso kamu itu ya.” Saya juga tertawa.  Karena ndeso itu saya susah sekali mengingat apa itu tee, pair way, green, hole in one, par, bogey, birdie. Berulang-ulang caddy girl yang mendampingi kami menjelaskan. Saya mencatat sebatas untuk tulisan saya saja. 


Berita pembongkaran makam Putri membuat oplah Dinamika Kota bertahan. Tak naik, tapi tak juga turun. Angka retur eceran sedikit naik. Hendra, manajer pemasaran kami, minta oplah cetak tak diturunkan. Ia sedang bikin promosi untuk menggaet pelanggan baru. Beberapa daerah perumahan baru yang sudah ramai penghuni selama seminggu diberi koran gratis. Lalu dihubungi apakah mau berlangganan. Kalau dapat 30 persen saja dari mereka yang disasar menjadi pelanggan baru, program promosi itu berhasil.


”Banyak yang komentar begini, oh, kalian koran yang musuhnya AKBP Pintor, ya?” kata Hendra.


”Terus, langganan, nggak,” tanya Bang Eel.  


”Ada yang langganan, ada juga yang nggak,” jawab Hendra. ”Tapi mungkin sudah perlu kita kurangi juga headline pembunuhan Putri.  Sudah bosan juga pembaca kita.”


”Gimana menurutmu, Dur?”


”Apa sudah tidak menarik soal pembunuhan Putri? Rasanya masih. Sampai vonis masih bisa menarik. Apalagi kalau AKBP Pintor sudah jadi tersangka. Masuk sidangnya nanti drama lagi...”  


”Itu bukan kita yang atur... Tak bisa kita apa-apain. Kecuali kita ikuti saja,” kata Bang Eel. 


”Betul, sih. Sementara kita kayaknya perlu tambah halaman. Iklan kita sudah hampir separo dari jumlah halaman. Mungkin itu yang bikin oplah stagnan.” 


”Betul. Saya setuju tambah halaman, sudah sesak halaman koran kita. Iklan lowongan kerja itu ordernya bisa dua minggu sebelum tayang, antre,” kata Uus, manajer iklan.


Menambah halaman, risikonya menambah harga pokok produksi, menambah biaya cetak. Memperkecil margin keuntungan.  Kalau kenaikan biaya produksi itu diimbangi dengan kenaikan penghasilan iklan, maka tambah halaman adalah langkah yang benar.


”Naikin aja harga jual,” kataku. 


Hendra tak setuju.  ”Jangan. Sekarang aja kita sudah paling mahal dibanding koran lokal lain. Naik harga eceran pasti oplah turun.”   


”Menurutmu gimana, Dur?” tanya Bang Eel.


Saya mengusulkan tambah halaman sesuai kebutuhan iklan saja. Atau tambah halaman pada hari-hari yang ditentukan. Jadi pada hari itu, teman-teman iklan menjual lebih gencar. Kalau perlu diskonnya juga lebih besar, yang penting halaman terisi, pendapatan iklannya melebihi tambahan biaya cetak. Bang Eel setuju. Semua manajer setuju. Soal kenaikan harga eceran Bang Eel akan berkonsultasi dengan pak bos kami, Indrayana Idris.  


Sehabis rapat gabungan redaksi, pemasaran, dan iklan, rapat rutin mingguan itu, saya diminta Bang Eel ke ruangannya. Biasa. Selalu begitu.  Ia menanyakan kesiapan redaksi kalau tambah halaman. Saya katakan harus tambah beberapa wartawan dan paling tidak dua redaktur.  


”Kalau kita cetak empat sesi, paling tidak kita perlu dua redpel. Satu untuk dua sesi cetak pertama, dan satu redpel untuk cetak terakhir,” kataku.


”Kamu punya calon, nggak?” tanya Bang Eel. Saya menyebutkan dua nama redaktur. Bang Eel akan mempertimbangkannya, toh penambahan halaman itu juga belum diputuskan.


”Soal Mila, gimana, Bang?”


”Kenapa dia mau pindah? Nanti kata orang kita yang bawa mereka. Mentang-mentang kau dan aku dari Metro Kriminal, Yon ikut pindah, ini Mila lagi,” kata Bang Eel. 


Saya tak menceritakan soal pelecehan yang dilakukan Beni kepada Mila. ”Tapi memang di sana kayaknya tak kompak lagi, Bang... Tak macam kita dulu,” kataku. 


”Iya. Saya sering jumpa dan tanya kawan-kawan di sana, semua sibuk sendiri. Teman-teman yang menggantikan kita itu seharusnya bersyukur dapat kesempatan naik. Masa tergantung kau, tergantung aku,” kata Bang Eel. 


”Mila gimana, Bang?”


”Suruh dia ketemu aku,” kata Bang Eel.


Ketika aku sampaikakn pesan itu Mila tampak enggan.  Saya bilang terserah dia. Keputusan ada di Bang Eel, bukan saya. Saya sudah sampaikan padanya.  “Kenapa, sih, kok kamu menghindari Bang Eel? Kalau nanti kerja di sini kan ketemu juga tiap hari,” tanyaku. 


”Tak apa-apa, kan ada Mas Abdur,” kata Mila. Mila akhirnya mau menemui Bang Eel dan mulai bekerja di Dinamika Kota.  Saya melihat Mila yang semula, yang riang dan bekerja dengan efisien. Mbak Nana bilang sangat terbantu. Kerja kesekretariatan di redaksi surat kabar itu bukan pekerjaan yang bisa diremehkan juga. Sebagai pemred saya bergantung pada rekap produktivitas masing-masing wartawan yang dibuat sekretaris untuk mengatur para wartawan itu, memicu produktivitas dan semangat kerjanya.  


Untuk beberapa urusan, Mila harus sering keluar kantor. Membeli ATK di Edukits, mengantar undangan narasumber untuk diskusi redaksi rutin, atau berkoordinasi dengan percetakan. 


Semua pekerjaan itu selama ini ditangani Mbak Nana. Saya memberi kesempatan Edo untuk lebih sering melayani kerja sekretaris redaksi. Saya sengaja menjaga jarak dengan Mila. Tampaknya Edo ada hati pada Mila. Dia rapi sekarang, mulai tak tampak lagi bekas-bekas premannya. Kecuali tato Terpedo itu. Itu sejarah dan identitas, katanya. 


Saya tak mau perhatian saya disalahartikan. Saya takut, atau tepatnya tak mau terlibat dengan perkara yang ribet. Urusan dengan hati dan perasaan perempuan bisa jadi sangat rumit, lebih rumit daripada ancaman karena berita.  


Lagi pula kantor kini menyediakan mobil untuk saya. Mobil yang lebih sering dipakai anak-anak redaksi untuk meliput.  Sampai-sampai Bang Eel menegur saya. 


”Kau tak suka mobil itu, ya, Dur?”


”Bukan gitu, Bang. Anak-anak lebih memerlukan untuk liputan,” kataku.


”Kalau kantor beli mobil satu lagi jangan tak dipakai ya,” katanya.


”Kalau belum ada anggarannya tak usah bang. Saya pakai motor aja beres,” kataku.  


Sepulang dari Palembang, Nurikmal memuat liputan bersambung soal keluarga Putri di kota itu. Termasuk soal showroom mobil yang mereka punya. Putri Ratu Auto Showroom. Siapa yang tak kenal! Fakta yang mencurigakan itu bisa dikaitkan dengan pembunuhan Putri. Sejak kejadian itu, kata beberapa orang yang diwawancarai di sana, showroom itu pelan-pelan mulai kosong. Seperti tak  ada penambahan stok baru. 


”Saya yakin ini ada kaitannya,” kata Nurikmal. Ia mengaitkan antara Putri sebagai istri polisi dan pengusaha, impor mobil setengah ilegal, alias bodong, dan pembunuhannya. Saya ajak Nurikmal menambahkan data-data dan analisis baru di bagan kasus dan peta berita yang saya bentangkan di dinding ruangan saya. 


Dari pekerja di pelabuhan tikus – kira-kira sebesar apa ya tikusnya, sampai pelabuhannya bisa disandari kapal tongkang? – kami dapat info sebagian  mobil itu dibawa ke Sumatera Selatan.  


”Kalau tahu dari kemarin info ini, saya cari informasinya di Palembang  itu bongkarnya di pelabuhan mana,” kata Nurikmal.  


Saya lagi-lagi teringat Pak Rinto. Saya meng-SMS beliau. "Saya masih berobat di Singapura", beliau membalas singkat.  Apakah parah sekali sakit beliau?  Saya membalas: "Oh, maaf, Pak. Saya kira sudah pulang. Lekas sembuh, Pak."  Sementara itu berita perkembangan lain yang tentang kasus pembunuhan Putri didapatkan Ferdy. AKBP Pintor dibawa ke Jakarta. Di mabes ia diperiksa propam dan akan menjalani sidang pelanggaran etik. 


Tiba-tiba SMS dari Pak Rinto kuterima, menginfokan hal yang sama:" just info, mungkin kamu sudah tahu, AKBP P diperiksa Propam Mabes."  Ia juga memberi nomor ”orang mabes” yang bisa dihubungi, yang ia sebut bisa memberi info valid. 


Saya segera menghubungi nomor tersebut lewat SMS.  ”Ya, baru selesai. Langsung ditetapkan sebagai tersangka”.  Saya bertanya lagi: ”Dalam kasus pembunuhan istrinya? ” Balasannya: ”Ya. Oke. Cukup ya. ”   Meskipun saya percaya 100 persen pada Pak Rinto, dan percaya pada informasi ”orang mabes” yang dia beri kontaknya itu, rasanya tak cukup konfirmasi kalau hanya dari SMS dari orang yang tak bisa disebutkan namanya.  Padahal ini info penting, eksklusif kalau koran lain belum tahu. Saya putar otak, siapa yang harus saya hubungi? (Hasan Aspahani)

Posting Komentar

0 Komentar