Siapa Membunuh Putri (3) - Sensor Berita dan Anak Panti



 PATRON'S Café  di mana aku dan Bang Eel malam itu bertemu adalah kafe milik pengusaha dan anggota DPRD Risman Patron. Risman, lelaki asal Bangka. Aktif di paguyuban Tionghoa. Bicara sangat fasih dalam dialek Melayu. Kalau dengar ia bicara tanpa melihatnya orang tak akan mengira ia orang Tionghoa. Cara bicaranya sangat Melayu. Ia malam itu benar-benar menjamu kami. 

Bang Eel memesan bir kaleng. Aku cukup jus melon.  Hidangan seafood disajikan dengan cara yang bagiku aneh. Kepiting, kerang, udang, dimasak dalam saus merah lalu dihampar di alas kertas di atas meja.  Sebagai anak laut, tinggal dan besar di rumah masa kecil di tepian pantai, saya tak asing dengan makanan laut. Cara menyajikan hidangan di hadapan kami membuat saya teringat tumpukan kotoran berang-berang setelah memangsa kepiting, udang, dan lain-lain.  

Risman malam itu seperti sudah menunggu kami. 

“Ini wartawan baru yang kodenya 'dur'?” katanya sambil menjabat tanganku dan merangkul pundakku. 

“Iya, Bang Risman…”

“Panggil Bang Ameng aja…. Hebat beritamu sudah sebulan lebih soal Sandra… “ kata Bang Ameng sambil melirik Bang Eel. 

“Abang Ameng satu kampung dengan Sandra? Dia asal Bangka juga kan?” tanyaku.

“Ah, itu Eel yang tahu tuh…” kata Bang Ameng, sambil terus mengembangkan senyumnya yang ramah. 

Saya teringat berita terakhir tadi saya buat tentang bocoran hasil otopsi yang tak pernah diberitakan. Sandra terbunuh dalam keadaan hamil.  Kasus pembunuhan Sandra menjadi pembicaraan di kota kami. Koran kami memberitakan dengan cara yang berbeda.

Sandra adalah mahasiswi di perguruan tinggi swasta. Dia hidup bersama ibunyi, tanpa ayah, dan dua orang adik.  Gadis Tionghoa asal Bangka itu, sambil kuliah bekerja sebagai agen asuransi. Rumah yang dia tinggali lumayan mewah. Rasanya agak terlalu mewah untuk seorang gadis yang hanya bekerja sebagai agen asuransi dan menanggung ibu yang tak bekerja dan dua adik yang masih sekolah. Sekolah mahal pula. Dalam pemberitaan saya, saya mendapatkan sumber yang mengarahkan dugaan dia istri simpanan seorang pengusaha di kota kami. 

Mayatnya ditemukan di hutan Bukit Mata Air. Sebuah kawasan yang dicadangkan sebagai hutan kota di pulau kecil ini.  Dalam perkembangan pemberitaan, polisi mengumumkan pelakunya sopir taksi gelap. Motifnya: perampokan dan pemerkosaan.  Malam kejadian itu, kata polisi, Sandra dijemput oleh si sopir taksi gelap.  

Bang Jon yang mula-mula mendapatkan informasi itu. Ia pegang radio polisi, jadi tiap informasi apa pun yang beredar di antara polisi ia langsung tahu. Pada hari mayat Sandra ditemukan, aku ikut Bang Jon ke TKP.  Ini pertama kalinya dalam hidup saya melihat korban pembunuhan. Tentu saya  awam tapi saya melihat tak meyakinkan kesimpulan bahwa dia dibunuh karena perampokan dan pemerkosaan. Lagi pula apa yang dirampok? Jam tangan dan tas ranselnya masih ada. Sandra tewas dicekik. 

Pada hari pertama memberitakan kasus itu koran “Metro Kriminal” seperti koran-koran lain memberitakan persis seperti keterangan polisi. Bang Jon yang menuliskannya untuk koran kami.  Pada liputan-liputan hari berikutnya, saya tetap ikut bersama Bang Jon, saya heran kenapa banyak fakta menarik yang tak ia tulis. Saya menanyakan itu kepada Bang Jon. 

“Sudah, ikuti aja. Di liputan kriminal ini kita ya memang gini mainnya. Kalau kita nulis yang beda dari info humas Polres bisa ketutup akses kita, mau dapat berita dari mana?” kata Bang Jon. Kala itu kami ngobrol sambil ngopi di kantin Polres. 

Memasuki minggu kedua aku menulis berita sendiri. Selama ini saya hanya numpang kode di berita Bang Jon.  Meskipun saya juga yang mengeditnya sebelum diserahkan ke Bang Eel. Saya menuliskan deskripsi fakta apa yang saya lihat, saya melihat korban ditemukan di TKP. Tak ada foto, karena waktu itu kami tak boleh memotret.  Siapa yang membunuh belum ditemukan. Koran-koran lain, termasuk koran kami sibuk memberitakan orang-orang membantu ibu dan adik-adik Sandra. 

Kalau orang cermat membaca berita saya di “Metro Kriminal” itu maka mereka bisa menyimpulkan bahwa tak mungkin motifnya perampokan dan pemerkosaan. Tak ada barang hilang, tak ada tanda-tanda perlawanan.  Ini pembunuhan berencana. Saya diam-diam mulai kenal dengan beberapa penyidik, dan mendapatkan informasi dari mereka. Diam-diam maksud saya tanpa lewat Bang Jon.  

Hari berikutnya saya memberitakan  jarak dari kampus dan lokasi penemuan mayat. Waktu terakhir kali orang melihat Sandra di kampus dan hari ketika mayatnya ditemukan, juga perkiraan kapan dia meninggal.  

“Ada berita besok?” tanya Bang Ameng, sambil menanyai kami mau minum apa, dan menyuruh pelayanan mengambilkannya.  

Saya mau menjawab tentang hasil otopsi itu. Ini informasi baru yang memenuhi 13 rukun iman berita yang jadi standar penilaian berita di grup surat kabar kami.  “Ada, Bang…. “

Belum saya bicara lebih jauh, Bang Eel memotong.  Saya menangkap sesuatu yang mencurigakan. Bang Ameng mempersilakan kami makan. Kalau mau nambah apa-apa silakan pesan lagi saja, katanya.  Saya makan lahap karena memang sudah sangat lapar. Tapi kecurigaanku tadi membuat aku berpikir bahwa makanan mewah dan pasti mahal ini bisa terasa lebih sedap kalau saja perasaan itu tak ada dalam kepalaku. 

Sehabis makan, Bang Eel bertanya lagi soal tawarannya padaku menjadi asredpel.  Ia jelaskan berapa kenaikan gaji yang akan kuterima, apa tugas dan tanggung jawabku.

“Kamu boleh sesekali ke lapangan. Jangan di kantor terus, malah tak bagus. Tapi pastikan pekerjaan perencanaan, editing, stok berita cukup. Ingat soal nabi kedua itu.” 

***

Headline “Metro Kriminal” masih tentang Sandra. Tapi bukan soal kehamilan itu.  Bagian itu hilang. Pasti Bang Eel yang mengeditnya. Yang diangkat adalah hasil wawancara saya dengan perusahaan asuransi di mana Sandra bekerja sebagai agen. Dia adalah agen terbaik dengan penghasilan yang masuk akal kalau dia bisa kuliah kampus swasta yang terbilang mahal itu dan menghidupi adik dan ibunyi.  Saya sudah punya perencanaan panjang untuk menjaga isu pembunuhan Sandra ini: kuliah terakhir yang dia ikuti, buku terakhir yang dia pinjam di perpustakaan, klien-klien pembeli polis asuransinyi dan siapa-siapa saja yang dia prospek.   

Anak-anak panti berebut minta giliran membaca “Metro Kriminal”.  “Berita apa lagi, Bang Dur? Ini masih Bang Dur yang meliput kan?” tanya mereka. Selalu begitu. Tiap hari. Seakan tak percaya wartawan yang menuliskannya tinggal di rumah panti bersama mereka.  Sejak awal datang ke kota ini, aku mencari panti asuhan. Tak jauh dari kantor “Metro Kriminal”. Ustad Samsu yang memberi tahu tentang Panti Asuhan Abulyatama ini.   

Saya serahkan koran pada Rido. Anak paling tua di antara anak-anak panti lain. Dia yang membacakan untuk adik-adiknya. 

“Do, kepiting yang abang bawa malam tadi sudah dipanaskan?”

“Sudah, Bang…”

“Buat makan siang, ya..”

“Iya, Bang….” Kata Rido. 

Bu Yani, pengurus panti memintaku bicara soal sewa panti yang habis bulan depan dan harus diperpanjang. Pengurus belum punya uang cukup.  Bu Yani penggagas dan pendiri panti ini. Mungkin karena dia tak pernah punya anak. Suami pertamanyi meninggal, suami keduanyi meninggalkannyi karena tak punya anak.  Dia masih kerabat Ustad Samsu. 

“Saldo di kas panti ada berapa, Bu Yani?”

“Cukup buat biaya hidup anak-anak selama tiga bulan. Untuk perpanjangan sewa sama sekali tak ada.” Kata Bu Yani. 

Sejak tinggal di panti saya membantu Bu Yani memikirkan biaya operasional panti. Hitung-hitung itu pengganti biaya sewaku tinggal di sini.

“Nanti saya coba cari ya, Bu…”   Saya ingat ada beberapa donatur tidak tetap yang sudah beberapa bulan tak dihubungi. Saya mencoba mengingat-ngingat siapa saja. Mungkin hari itu aku harus menemui  Pak Restu Suryono, pengacara terkenal, dan politisi berpengaruh itu. Atau Pak Roni Sirait, pensiunan reserse polisi, yang baik itu. 

Sampai aku berangkat ke kantor “Metro Kriminal”, aku masih berpikir kenapa info soal kehamilan Sandra itu tak muncul dalam berita.  Di kantor, Mila, sekretaris redaksi kami sedang merekap produktivitas berita wartawan. “Wah, Mas Dur paling tinggi lagi, nih. Bonus lagi nih, Mas,…” kata Mila. Aku tersenyum. Mila gadis yang bekerja dengan baik, telaten, rapi. Dia anak Belakangpadang, pulau tetangga.   “Bang Eel sudah datang? 

“Ada di ruangannya,” kata Mila. “Eh, Mas Dur, ini iklanmu ya?” 

Aku memperhatikan iklan Patron’s Café. Ada band live tiap malam di sana. Semalam memang aku melihat ada band yang main di bagian luar café, bagian yang menghadap laut. Asyik juga kelihatannya. 

“Bukan,” jawab saya.

“Kata Bang Eel ini iklanmu, Mas”. 

Bang Eel nongol dari pintu ruang kerjanya. Dia memanggilku masuk. Menyuruh saya duduk dan menyerahkan sebuah amplop. Aku bertanya amplop apa itu.

“Ini komisi iklan buatmu. Iklan Patron’s Café.” Kata Bang Eel. Aku langsung teringat iklan yang tadi ditunjukkan Mila.

“Bang Ameng mau pasang tiap bulan. Nilainya minimal sebesar itu. Bayar di depan. Itu iklanmu, saya sudah bilang ke bagian iklan. Kamu masih tinggal di panti?” tanya Bang Eel.

“Masih, Bang….” 

“Sampai kapan? Ini kamu terima aja. Cari koslah ya. Di sekitar kantor kita banyak ruko yang dikoskan.  Masak tinggal di panti terus.”

Aku jadi kehilangan selera untuk bertanya tentang berita Sandra.  Aku ambil amplop itu dan terbayang senyum di wajah Bu Yani, dan wajah anak-anak panti, Rido dan kawan-kawannya. Rasanya uang komisi iklan ini cukup untuk  perpanjangan sewa rumah untuk panti.  “Mas Dur, dipanggil Bang Ado, ditunggu di ruangannya,” kata Mila.(Hasan Aspahani-bersambung)

Sumber: disway.id

Posting Komentar

0 Komentar