Siapa Membunuh Putri (9) - Si Sopir Presiden | Oleh: Hasan Aspahani
Cerita Bersambung Karya Hasan Aspahani: Siapa Membunuh Putri Bagian (9) - Cerita tentang Si Sopir Presiden, Sumber: disway.id
JALAN keluar suatu persoalan, pencerahan pemikiran, cahaya di kegelapan jalan hidup, seringkali kita temukan ketika kita bertemu atau bertanya pada orang yang tepat. Itulah pentingnya membuka jejaring pertemanan. Di kota pulau ini saya mendapatkan hal seperti itu pada sosok Roni Sirait. Seorang pensiunan polisi. Tepatnya, dia berhenti dari dinas kepolisian.
Kalau penduduk pendatang diberi nomor urut dari satu, dua, dan seterusnya, saya dapat nomor satu,” kata Pak Roni padaku, suatu hari. Dia sosok yang unik. Banyak sisi-sisi humanis yang membuat dia jadi orang yang menyenangkan.
Mungkin dialah orang satu-satunya di dunia ini yang menjadi ketua panitia pembangunan masjid, meskipun dia Kristen. Saya tahu itu, ketika pada suatu wawancara ia sodorkan map, berisi permohonan dana sumbangan pembangunan masjid. Ada namanya sebagai ketua panitia.
”Warga minta dan tunjuk saya, artinya mereka percaya dan menganggap saya mampu, apa harus saya tolak?” katanya lantas tertawa ringan.
Kalau mau tahu bagaimana pulau itu berkembang dari kosong menjadi kota sedinamis sekarang, temui ia. Ia adalah kamus berjalan, ensiklopedia hidup tentang sejarah pulau ini, saksi mata berbagai kejadian penting. Berapa kali pecah perang antarsuku, suku apa melawan suku apa, apa penyebabnya, siapa yang mengompori, ada kepentingan apa di balik setiap peristiwa itu, bagaimana kerusuhan itu didamaikan, apa konsesi yang dibagikan.
Belum lagi buka tutup perjudian yang tak pernah benar-benar ditutup, tak pernah juga secara terang-terangan dibuka. Siapa atau angkatan mana yang jadi beking di perjudian hotel-hotel tertentu yang diam-diam dioperasikan menjadi kasino.
”Bapak harusnya jadi wali kota, Pak!” kata saya.
Dia tertawa lebar. ”Jadi orang bebas begini saja nikmat sekali, Dur. Sesekali jadi sopir presiden itu juga nikmat lain yang luar biasa,” katanya terus memperbesar tawanya.
“Saya ini mau mencari apa lagi? Anak-anakku sekolah dan tinggal di luar negeri. Masih sehat, masih bisa makan sukun goreng. Ngopi bareng wartawan hebat macam kau ini….,” katanya.
”Bapak banyak musuh, Pak? Kan banyak penjahat yang dulu bapak tangkap?”
”Beberapa aku tembak dan mati,” kata Pak Roni. Seperti sesal, tapi ia sama sekali tak ragu dengan ucapannya itu.
”Pasti ada yang dendam sama aku. Aku sendiri sudah menganggap semua jadi bagian dari masa lalu, yang sudah lewat. Itu dulu kan aku lakukan sebagai tugas,” katanya.
”Bapak takut?”
”Kalau takut ngapain aku bertahan di sini, Dur. Anak saya bolak-balik ngajak saya tinggal di Amerika, yang satu di Australia,” kata Pak Roni. ”Saya mencintai kota pulau ini, Dur. Entah kenapa. Mungkin karena terlalu banyak bagian dari sejarah hidup saya yang saya lewatkan di sini. Istri saya juga dikuburkan di sini. Saya tak bisa jauh dari dia,” katanya.
Dia bisa cerita panjang, tentang bagaimana Sekumpang, kawasan yang pertama dibuka, itu dibuat Pelabuhan, lalu jalan-jalan besar dua jalur dirancang, pohon-pohon peneduh ditata, deru loader dan buldoser, semua terekam dalam ingatannya.
”Orang-orang sini yang sekarang kaya-kaya itu, toke-toke semua itu, saya tahu mereka dari sejak mereka miskin. Mereka datang ke sini pertama kali pasti ketemu saya dulu,” kata Pak Roni.
Kalau berbincang panjang dengannya, datanglah ke rumahnya yang teduh, dengan halaman luas di kawasan Pantai Pinggir. Ada pohon sukun besar yang sepertinya selalu berbuah. Tiap kali saya berkunjung ke sana, dia menyuguhiku sukun goreng, kudapan favoritnya.
Saya menulis banyak tulisan bersambung tentang sejarah kota ini dengan mewawancarai Pak Roni. Saya juga meminjam foto-foto dari album pribadinya untuk di-repro. Dia selalu menyebut beberapa nama untuk diwawancarai terkait satu dan lain hal. Orang yang menurutnya lebih tahu, karena terlibat lebih banyak.
Sebagai bekas polisi dia mencemaskan kriminalitas yang tinggi sejak awal berkembangnya pulau ini. Dia menunjukkan bekas luka panjang diagonal di perutnya. Itu yang membuat dia berhenti jadi polisi. Personel kurang. Dana operasional tinggi. Kejahatan tinggi. Pulau ini kecil memang, tapi semua kejahatan ada di sini: penculikan, penyeludupan keluar dan masuk, trafficking, pencucian uang.
”Sekalian saja saya jadi preman, orang bebas. Daripada terikat dengan aturan kepolisian. Saya orangnya disiplin. Tapi, tahu tidak, Mas Dur, sampai sekarang, sudah puluhan tahun saya berhenti jadi polisi, kapolres berganti belasan kali, saya masih diizinkan pegang pistol, lho… Mau lihat?” tanya.
”Nggak usah, Pak. Percaya,” kata saya. Tapi, tetap saja dia keluarkan pistolnya dari tas hitam yang selalu berada tak jauh dari dirinya itu. Dia sorongkan ke saya. Menyuruh saya memegang pistol itu. Dingin. Dia suruh angkat. Berat. Dingin dan berat.
”Kalau kamu mau tahu siapa-siapa orang sipil di sini yang pegang pistol tanya saya. Saya punya daftarnya,” katanya.
Saat itu saya hanya berpikir, mungkin suatu saat data itu berguna juga buat saya. Di antara banyak cerita Pak Roni yang paling sering beliau ceritakan ulang adalah menjadi sopir presiden. Siapa saja presiden negeri ini kalau berkunjung ke pulau itu maka sopir mobilnya selalu beliau.
”Kenapa, ya, Pak?”
”Saya ndak tahu juga. Mula-mulanya kan mungkin karena saya polisi ya, waktu itu. Setelah saya tak jadi polisi, protokoler tetap meminta saya. Katanya presiden sendiri yang minta. Nyupir kan bukan sekadar nyupir ya, kadang-kadang beliau-beliau itu nanya macem-macem juga. Nah, itu saya lepas aja saya jawab apa adanya. Ganti presiden, cerita tentang saya mungkin nyambung, karena kan protokoler orangnya itu-itu juga orang yang sama,” kata Pak Roni.
Cerita-cerita dari pertemuan dengan Pak Roni itu berkilasan kembali ketika hari itu kami bertemu di peresmian pabrik perakitan elektronik raksasa Maestrochip Corps di Kawasan Industri Watukuning. Ramai sekali. Ada tari persembahan yang megah dari kelompok seni dari Kota Tanjungpunai, kota seprovinsi di pulau seberang itu. Makanan berlimpah.
“Bagus sekali batikmu, Dur,” katanya menggodaku. Itu bukan pujian, saya tahu. Pak Roni pasti tak pernah melihat saya pakai batik. Kami berada jauh di deretan kursi belakang. Di barisan kursi VIP, saya lihat Pak IDR dan Bang Ameng berbincang akrab dan sesekali pecah tawa mereka. Di sana saya lihat juga ada pengacara Restu Suryono, dan Bang Eel. Bos-bos besar Maestrochip menyalami tamu-tamu terhormat, ada Menteri Perindustrian dan Investasi, gubernur, sampai wali kota.
”Kamu harusnya di kursi VIP itu, dong,” kata Pak Roni, terus bercanda.
”Wah, di sini aja, Pak. Nggak betah,” kata saya. ”Pak, sudah baca berita hari ini. Istri polisi yang hilang itu, Pak. Bapak kenal kan?” tanyaku.
Pak Roni mengelilingkan pandang. Seperti berhati-hati. ”Itu perwira masih terbilang baru. Dia di dirkrimsus kan? Yang kemarin nangani kasus korupsi Kabag Keuangan Pemkot itu kan? Dia agak lurus kelihatannya, tapi pasti tak bersih juga saya kira. Saya tahu nama saja. Tapi saya kenal mertuanya. Pernah jadi kapolres di Palembang. Saya dengar-dengar dari teman-teman yang masih aktif, istrinya gayanya sosialita gitu, dominan, lebih berkuasalah. Kalah pamornya, karena karir si perwira itu bagus karena mertuanya. Katanya, begitu. Kenapa?”
”Kenapa dia baru lapor kehilangan istrinya setelah tiga hari, Pak?”
”Kamu lebih tahu.”
”Apa istrinya masih hidup?”
”Kamu lebih tahu.”
”Kalau sudah mati, siapa yang membunuh?”
”Aku tunggu berita di koranmu aja,” kata Pak Roni.
Pak Roni berhati-hati bicara. Pasti dia tahu sesuatu.
Seseorang dengan tanda nama panitia mendekati kami. Lalu dengan ramah memanggil nama saya. ”Pak Abdur, bisa ikut saya. Dipanggil ke ruangan VIP oleh Pak Risman. Pak Eel dan Pak Indrayana ada di sana, Pak.” Aku tinggalkan Pak Roni yang juga harus segera beranjak dari situ, dia kali ini menjadi sopir Pak menteri.
Di ruangan VIP itu hanya ada Bang Ameng dan Bang Eel. Bang Ameng kasih satu goody bag dan map berisi data rilis berita. Kami berbincang sebentar, basa-basi penghangat, sekadar pelepas kekakuan. Dia minta tunggu sebentar karena Mr. Stephen Gwan, bos Maestrochip yang baru diresmikan itu hendak berkenalan dengan saya. Saya tak tahu apa perlunya. Toh dia sudah bertemu dengan Pak IDR dean Bang Eel.
Tak lama dia muncul, bilang terima kasih. Saya ucapkan selamat. Lalu melanjutkan basa-basi sampai ia keluar dari ruang VIP. Bang Ameng memberi isyarat pada Bang Eel agar membiarkan kami berdua.
”Ini pabrik nyaris saja gagal. Nyaris pindah ke Vietnam. Kalau terjadi, kita kehilangan investasi besar. Kita kehilangan lowongan kerja sepuluh ribu operator,” kata Bang Ameng.
”Wah, untunglah, Pak,” kata saya datar. Tak bisa saya lekas mencerna dan menentukan sikap. Apakah keadilan hukum baru satu orang pantas dikorbankan untuk pekerjaan bagi sepuluh ribu orang?
”Meskipun saya harus pasang badan, Dur,” kata Bang Ameng dengan sedikit berhati-hati. Saya tak paham. Diam saya kala itu adalah diam yang menuntut penjelasan.
”Ingat otopsi Sandra? Berita yang tak naik di koranmu dulu?”
”Iya. Apa hubungannya, Bang?”
”Semua orang pasti mengira saya yang menghamili dia. Dia simpanan saya. Semua sepertinya mengarahkan kecurigaan ke saya. Meskipun saya sebenarnya hanya pasang badan.”
”Jadi yang menghamili siapa, Bang? Apa dia juga yang membunuh Sandra? Atau paling tidak yang memerintahkan pembunuhan Sandra?”
”Kalau publik tahu dan orangnya diproses secara hukum, pabrik ini tak akan diresmikan hari ini,” kata Bang Ameng. Saya teringat, pada hari-hari setelah penemuan mayat Sandra, Bang Ameng menggerakkan organisasi sosial di mana dia terlibat, bergerak cepat membantu keluarga, ibu, adik-adik Sandra. Lalu seorang sopir taksi bodong ditetapkan sebagai tersangka.
Motif perampokan itu tak pernah terlalu meyakinkan dari jawaban tersangka dalam rangkaian sidang-sidang. Tapi, dengan demikian, kasus pun telah ditutup, paling tidak sudah dianggap selesai. (Hasan Aspahani-Bersambung)
Posting Komentar
0 Komentar
Komentarnya harus pantun ya....