Siapa Membunuh Putri (28) - BAP | oleh: Hasan Aspahani
Cerita Bersambung Hasan Aspahani: Siapa Membunuh Putri bagian (28) - BAP, sumber: disway.id
RUMAH Rinto selalu begini suasananya. Rumah besar yang lengang. Tenang. Agak misterius. Dia tinggal sendiri. Anak-anaknya tinggal di luar negeri. Ada pembantu yang bekerja pulang hari membereskan pekerjaan rumah dan merawat taman. Saya hari itu melihatnya tidak seperti orang yang habis sakit. Atau habis menjalani operasi berat.
”Sudah sehat, Pak?” tanya saya. ”Bagaimana operasinya?”
”Biasa, sehat-sehatnya orang tua seperti saya,” katanya. ”Pak Azhari, calon mertuamu itu cerita apa saja?”
”Tak banyak, Pak. Cuma menyebut nama Pak Rinto sebagai salah satu temannya waktu dia aktif sebagai wartawan di sini,” kata saya. Dan memang cuma itu. Pak Rinto mengangguk-angguk.
”Kami lebih dari sekadar teman. Tapi benar ya dia tak cerita lebih dari itu?” tanya Pak Rinto sekali lagi. Seolah cemas ada yang saya tahu dari ayah Inayah yang harus ia jelaskan padaku. ”Ia tak berubah ternyata.”
“Apa pun yang dia ceritakan padamu, Dur, kalau ada, saya tak akan membantahnya, tapi saya yakin kamu jujur, seperti dia, bahwa dia tak cerita apa-apa. Saya ingin kamu tahu cerita yang sebenarnya. Ini bagi kami seperti rahasia yang kami jaga,” kata Pak Rinto.
Rinto dan Azhari muda datang ke Borgam pada tahun yang sama. Di tahun-tahun awal, Azhari sempat menumpang sebentar di rumah dinas Rinto. Tak sulit bagi mereka untuk menjalin hubungan yang kemudian berkembang menjadi persahabatan.
Rinto polisi berdedikasi. Azhari wartawan yang idealis. Mereka berdua, dengan profesi masing-masing ingin memberi kontribusi pada kota pulau ini, kota yang mereka bayangkan sebagai masa depan mereka, seperti ratusan ribu pendatang lainnya.
Rinto selalu memasok Azhari dengan informasi-informasi penting yang bisa dia akses, terkait fakta-fakta dan kejadian penting. Dengan dedikasi dan peran masing-masing, keduanya merasa ikut mengarahkan Borgam agar berkembang ke arah yang benar. Ibarat seorang ibu yang melahirkan anak, mereka ingin jangan sampai kota ini lahir dengan terlalu banyak pendarahan.
“Kami sadar bahwa terlalu besar musuh yang kamu hadapi. Musuh itu maksud saya situasi, keadaan, yang terjadi karena lebih banyak orang yang menyesuaikan diri dengan hukum rimba, aturan ala mafia. Kamu faham kan? Siapa yang kuat, yang banyak modal dia bisa mengatur dan membeli peraturan dan orang-orang yang pegang kekuasaan. Itu yang kami hadapi. Azhari lebih dahulu menyerah. Ia tinggalkan kota ini, jadi dosen. Dia orang yang cerdas. Dia cocok jadi orang kampus. Kegelisahannya membuat dia selalu kembali ke sini, sebagai akademisi dan peneliti, bukan sebagai wartawan. Saya bertahan beberapa tahun sebagai polisi. Sebelum keluar,” katanya.
“Terus, selepas tak lagi dinas, apa yang Pak Rinto kerjakan?”
“Nah itu rahasianya. Saya ceritakan ke kamu sekarang,” katanya.
Rinto dan Azhari muda, dulu, pernah menolong beberapa perempuan muda korban trafficking, perdagangan manusia. Mereka direkrut sebagai tenaga di tempat-tempat hiburan, karaoke, panti pijat, bar, mereka diiming-imingi gaji menggiurkan, nyatanya mereka tak lebih dari sekadar dijadikan pelacur. Dipekerjakan seperti budak. Terikat kontrak, tak bisa lari, dikawal ketat.
Suatu kali ada enam orang kabur dan dikejar preman suruhan pemilik pelacuran. Saya masih ingat nama-nama mereka. Enam orang itu membawa bukti-bukti keterlibatan beberapa oknum keamanan dan nama-nama tokoh besar lain.
Rinto dan Azhari mengupayakan enam orang itu lari mengamankan diri dulu ke luar pulau dengan kapal lewat pelabuhan tikus. Mereka bawa bukti-bukti yang mereka punya. Modal perlawanan mereka. Di tengah laut, awak kapal yang ternyata sudah dibayar oleh jaringan mafia itu, terjun ke laut dan kapal itu dibakar. Enam orang perempuan malang itu itu hilang. Tak berjejak.
“Azhari sangat terpukul. Ia merasa telah ikut membunuh enam orang itu. Ia tak bisa melakukan apa-apa. Tak ada sumber yang tahu, kalaupun tak tak ada yang mau buka mulut. Koran tempatnya bekerja tak mau memuat beritanya. Ia mendesak saya untuk melakukan sesuatu. Saya juga tak bisa apa-apa. Atasan saya tak memercayai laporan saya. Kamu tahu apa kata atasan saya waktu itu? 'Selama tak muncul di koran berarti tak ada kejadian itu’, katanya,” kata Pak Rinto.
Sejak itu Pak Rinto percaya betul pada kekuatan media yang independen, yang dikelola wartawan yang masih punya idealisme. Tapi media kerap ada pada posisi yang rapuh, seringkali tinggal berdiri sendiri atau dengan mudah terbeli. Atau menyerah.
”Pak Azhari menyerah,” kataku. ”Pak Rinto juga menyerah…”
”Sebagai polisi saya memang menyerah. Saya keluar. Tapi saya tak melupakan keinginan kami untuk bisa berbuat sesuatu agar kota ini berkembang dengan benar. Menghargai manusia. Memanusiakan manusia,” katanya.
”Apa yang bapak lakukan?”
”Tawaran itu tak datang serta-merta. Saya sudah kontak dengan orang-orang yang kemudian saya tahu siapa mereka. Satu-satunya orang yang kuajak bicara minta pertimbangan adalah Azhari. Kami tahu yang kami lawan itu kekuatan yang kami tak tahu sebesar apa, yang ada di seberang sana,” katanya.
Mungkin karena mengambil pilihan itu, kata Pak Rinto, ia merasa seperti menjadi seorang pengkhianat. Tapi ia menimbang lebih banyak manfaat dan perbaikan yang bisa ia lakukan. Rinto menerima tawaran menjadi informan bagi semacam kelompok penentu yang sangat berpengaruh di negeri seberang sana itu. Ia tak pernah tahu persisnya bekerja dengan siapa. Semua diatur rapi, termasuk bagaimana dana operasional masuk dan ia terima.
”Kamu ingat Habibie pernah bilang mau bangun pelabuhan bongkar muat peti kemas yang lebih besar daripada negeri seberang itu? Secara kemampuan teknis dan dana apa yang tak bisa? Tak pernah rencana itu terwujud? Tidak. Karena kalau itu terjadi, berhenti berdetak jantung ekonomi di negeri seberang itu. Nah, saya sepertinya bekerja dengan mereka yang mengatur upaya penggagalan rencana itu. Apa pun mereka lakukan. Yang saya lakukan hanya memberi informasi dan pendapat, pandangan saya. Tak ada rahasia yang saya jual ke mereka, saya bukan mata-mata. Saya bukan intel,” kata Pak Rinto.
”Jadi persisnya apa pekerjaan Bapak?” tanya saya. Orang di kota ini mengenal dia sebagai komisaris dan pemilik perusahaan jasa, seperti penyedia tenaga sekuriti dan sewa kendaraan juga jasa sopirnya untuk pabrik-pabrik di kawasan industri Watukuning.
”Saya ini berusaha dengan cara-cara tak langsung menjaga Borgam aman. Kenapa saya bantu masjid, gereja, pesantren, sekolah, usaha-usaha kecil? Karena kota ini akan aman, kalau orang sini sejahtera, fisik dan jiwanya. Azhari pernah bikin penelitian.
Apa yang diinginkan warga kota ini? Nomor satu itu rasa aman. Kedua kerukunan. Kesejahteraan ekonomi malah nomor tiga. Itu hasil penelitiannya, lho. Saya memang tak jadi polisi lagi, tapi saya tetap berurusan dengan rasa aman orang-orang, dengan skala yang lebih besar, dengan sumber daya yang lebih besar.” papar Pak Rinto.
”Bapak kerja sendiri ya, Pak?”
”Seperti yang kamu lihat,” katanya. ”Tentu saja saya tak melakukan sendiri. Kami juga bantu saya kan? Dur, tahu kan kenapa aku cerita terbuka begini ke kamu? Cuma satu, saya percaya sama kamu, sejak semula saya lihat kamu orang yang bisa saya percaya. Apalagi ketika tahu kamu akan jadi menantunya Azhari. Dia itu tak pernah mau berutang pada orang. Padahal kami itu kurang dekat apa, dulu pertama dia pernah tinggal bareng saya. Ada anaknya di sini, calon istrimu itu, ia juga tidak cerita,” katanya.
Pak Rinto dengan wajah serius bertanya, seperti mengajukan dakwaan, ”Saya bisa percaya sama kamu, kan, Dur?”
”Saya menghormati orang yang memercayai saya dan menjaga kepercayaan yang diberikan pada saya, Pak,” kata saya. Sepertinya bukan kalimat itu yang penting buat Pak Rinto, tapi bagaimana saya mengucapkannya, dia seperti penyidik yang dengan awas mendeteksi apakah ada kebohongan di wajah saya ketika mengatakan kalimat itu. Sepertinya dia tak menemukan itu.
Dia lalu berdiri. ”Tunggu,” katanya. Tak lama kemudian dia keluar dari ruang kerjanya, dengan tiga jilidan berkas tebal. ”Ini tiga berkas perkara termasuk BAP tersangka pembunuhan Putri. Yang untuk Awang dan Runi tak beda jauh dengan yang sidang sebelumnya, ada tambahan terkait keterlibatan Pintor. Kamu pelajari BAP Pintor. Itu baru.”
Dari mana Pak Rinto dapatkan salinan ini? Kalau pun saya tanyakan ia pasti tak akan menjawabnya. Ia tampaknya hanya ingin menunjukkan bahwa jejaring pengaruhnya memang sekuat dan seluas itu. Ia bisa dapatkan BAP itu. Ia pasti bisa dapatkan informasi apa saja.
Jadi teringat nasihat Pak Indrayana Idris dalam satu rapat besar kami. Sebagai wartawan kita jangan pernah merasa sombong dan merasa diri paling tahu. Kita akan malu, rendah diri, kalau kita tahu apa yang diketahui oleh para pengusaha-pengusaha besar itu. Mereka punya uang untuk membelinya, karena mereka memerlukannya dan harga kepentingan yang mereka pertaruhkan jauh lebih besar dari harga informasi yang mereka bayar.
Sementara wartawan harus taat pada kaidah dan etika jurnalisme. Itulah yang menjaga wartawan, yang membuat hasil kerja dan pekerjaannya menjadi berharga. Bukan berarti kita tak berdaya, tapi justru informasi yang kita dapatkan menjadi berharga karena keterbatasan itu.
Dalam konteks ini pula saya memahami hubungan Pak Rinto dengan siapa pun yang membayar dan membeli informasi darinya. Saya sekilas membuka-buka BAP itu. Sebagai wartawan saya seperti menemukan harta karun.
”Itu sudah jadi milikmu. Milik mediamu. Gunakan sebatas tak melanggar aturan apa-apa. Dan jaga kepercayaan saya. Saya cuma minta, turunkan sedikit tensi pemberitaanmu. Sementara, kalau bisa, jangan menambah ketegangan, ya,” kata Pak Rinto.
Kenapa tiba-tiba saya merasa Pak Rinto seperti sedang mengasihani saya, dan saya tak suka dengan itu. Atau dia memang benar-benar peduli sama saya, sama Inayah anak sahabatnya? Apakah dengan cara ini dia ”membeli” saya? Ke mana dia hendak mengarahkan saya? (Hasan Aspahani)
Posting Komentar
0 Komentar
Komentarnya harus pantun ya....