Mencoba Memahami Puisi "Nama" Karya Saw Notodihardjo



Selamet AW atau dikenal dengan nama pena Saw Notodihardjo adalah penyair akademis. Dia adalah lulusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Jember. Beberapa puisinya sudah diterbitkan dalam antologi puisi.

Selain menerbitkan puisi dalam Buku Antologi Puisi, Mas Selamet juga acap kali memposting puisi-puisinya di blog sawnotodihardjo.blogspot.com. Baru-baru ini, Ia memposting Puisi yang berjudul Nama.

Berikut puisi lengkapnya:

NAMA

Nama yang mengudara
hanya perkara waktu
tak ada yang menjamin
akan terus hidup
hujan dan terik matahari
perlahan melumat
dalam kenangan dan ingatan
Nama dibawa kapal berlayar
menemui alamat pelabuhan
diganti nama lain
dicatat perhitungan
sebuah keberadaan
juga kepergian
daun-daun gugur
melebur
daun-daun tumbuh
melepuh
: apa arti sebuah nama?

(Muncar, 010320)

Sumber: http://sawnotodihardjo.blogspot.com/2020/03/nama.html

Tentu saja puisi adalah karya sastra yang padat, bersayap. Sehingga sayup-sayup saja makna yang bisa ditangkap. Tentu saja, Mas Selamet juga tidak akan peduli dengan pemaknaan puisinya oleh siapapun (mungkin).

Maka dengan lancang pula disampaikan melalui tulisan ini. Tentang karya syair yang digubah oleh Mas Selamet di atas, sang Penyair Bumi Blambangan.

Sebelum dilanjutkan, tentu disampaikan dulu bahwa, pisau bedah dalam tulisan ini adalah rasa. Rasa yang ditulis sekenanya tanpa teori puisi yang spesifik dan memadai. Sebut saja pisau bedahnya adalah estetika pribadi, yang berkarat dan tumpul.

NAMA

Nama yang mengudara
hanya perkara waktu
tak ada yang menjamin
akan terus hidup
hujan dan terik matahari
perlahan melumat
dalam kenangan dan ingatan
Nama dibawa kapal berlayar
menemui alamat pelabuhan
diganti nama lain
dicatat perhitungan
sebuah keberadaan
juga kepergian
daun-daun gugur
melebur
daun-daun tumbuh
melepuh
: apa arti sebuah nama?


Diksi yang tandai dengan cetak tebal di atas mengandung kontradiksi. Mengudara, di sisi lain berlayar. Gugur memang melebur, tapi tumbuh kok justru melepuh. Diksi lain yang menunjukkan 'ketidakberdayaan' dan 'kehancuran' adalah 'melumat'.

Diksi-diksi tersebut menunjukkan 'kehilangan'. Ditambah lagi ada diksi 'diganti nama lain' dan 'kepergian'. Jadi ada rotasi yang tidak seimbang. Lebih banyak kehilangannya.


Kepadatan Puisi

Mas Selamet ini menuangkan begitu saja untaian kata dalam blognya. Tidak menyaring pilihan kata dan baris. Terasa sangat tidak padat. Menggunakan kata yang 'berlebihan' untuk takaran sebuah puisi.

Beberapa kata yang bisa dipadatkan --ini usul, Mas-- antara lain:

NAMA


tak ada yang menjamin
akan terus hidup

=> Tak ada jaminan terus hidup






hujan dan terik matahari

Mengapa terik masih dilekati 'matahari' bukankah sebuah 'terik' sudah mengandung makna Matahari?



Tentu saja, masing-masing penyair memiliki kekhasan dalam berdiksi, mungkin sudah ciri khasnya Mas Selamet begitu.


Memilih Makna atau Rima?

Tentu semakin sulit puisi dipahami oleh pembaca, semakin tinggi nilai estetika. Begitu sebagian hujjah sastrawan dan penikmat sastra. Namun tetap, makna sebuah puisi harus menunjukkan konsistensi isi dan ide.


daun-daun gugur
melebur
daun-daun tumbuh
melepuh


Ada pertautan rima dalam baris puisi Nama di atas. Gugur dan Melebur. Tumbuh dan Melepuh. Juga antara melebur dan melepuh. Menjadi menarik memang puisi tersebut. Ditambah dengan repetisi daun-daun dan daun-daun.

Namun menjadi kontradiksi makna. Daun yang gugur, memang melebur, diuraikan oleh mikroba menjadi tanah. Hancur. Tapi yang tumbuh kok justru melepuh? itu tumbuh ataukah rapuh?


Tapi, di bagian akhir puisi, Mas Selamet sudah menjawabnya sendiri dengan ungkapan klise tentang nama: "Apalah arti sebuah (puisi) Nama?"

Tabik!
Muntijo

Posting Komentar

0 Komentar