Pantun Kalau ada Sumur di Ladang Boleh Kita Menumpang Mandi arti dan pengembangannya



 pantunmun.blogspot.com -- pertama kali mendengar -lebih tepatnya membaca- pantun dengan sampiran Kalau ada sumur di ladang saat duduk di kelas 5 SD. Saya ingat betul. Ada pantun itu di buku paket bahasa Indonesia yang bersampul hijau dengan anak-anak sekolah. Akhirnya itu adalah salah satu pantun yang dihafal. 

Bunyi lengkapnya seperti ini:

Kalau ada sumur di ladang

Boleh kita menumpang mandi

Kalau ada umur yang panjang

Boleh kita berjumpa lagi


Awalnya sekadar hafal pantun itu. juga bisanya mengulang pantun. Tanpa bisa membuat pantun yang sejenis. Maklum masih SMP. Tidak bisa membuat pantun. Bisanya mencontoh pantun. Buku andalan kami saat masih SD untuk membuat pantun adalah Intisari Bahasa Indonesia. 

Intisari adalah sebuah buku yang lebih berfungsi sebagai tempat mencontek ketika ada pelajaran bahasa Indonesia. Baik saat menulis pantun, syair, atau membuat peribahasa. 

Begitu juga dengan pantun kalau ada sumur di ladang. Menjadi andalan dalam setiap kesempatan membuat pantun. 

Ketika masih SD, pantun kalau ada sumur di ladang juga menjadi andalan ketika ada kegiatan perkemahan Pramuka. Saat kemah itu, ada kegiatan berbalas pantun. Karena masih SD yang ada justru tidak saling berbalas pantun, yang ada malah berpantun sendiri-sendiri bergantian yang tidak saling terkait. 

Kembali kalau ada sumur di ladang muncul dalam malam adu pantun tersebut. Begitu juga saat sudah sekolah SMP. Pantun Kalau ada sumur di ladang masih sering didengar dan dibaca. Melalui berbagai macam kesempatan dan wahana. 

Selanjutnya, ketika sudah SMA, sepertinya sudah tidak ada lagi pantun kalau ada sumur di ladang. Apa karena sudah tidak ada kegiatan Pramuka, jadi tidak ada kegiatan adu pantun. Jika pun ada, mungkin pantun andalan ini akan muncul lagi. 

Setelah kuliah, kembali saya menemukan pantun Kalau ada sumur di ladang. Tepatnya ketika membaca novel Sitti Nurbaya. Novel Indonesia angkatan Balai Pustaka. Dulu saya menyebutnya sebagai Novel Indonesia angkatan pertama. Tapi setelah membaca referensi tentang Novel Student Hidjo, angkatan Balai Pustaka sepertinya bukan angkatan pertama. 

Dalam novel Sitti Nurbaya yang sudah terbitan tahun 2008 itu, ejaan yang digunakan sudah sesuai dengan ejaan yang disempurnakan. Namun, gaya bahasanya masih gaya bahasa Melayu. Juga isinya tetap. Seperti novel asalnya. Buku Novel yang saya baca, dipinjami --lebih tepatnya saya yang pinjam-- Mas Badrus Sholihin, kakak angkatan 2008 yang punya nama pena Midun Aliassyah. 

Sejak saat itu, barulah saya paham bahwa Pantun Kalau ada sumur di ladang adalah pantun yang sangat lama. Sangat klasik. Bahkan lebih tua dari usia Republik Indonesia. Angkatan Balai Pustaka adalah tahun 1920-an. Novel Sitti Nurbaya yang di dalamnya ada pantun perpisahan tersebut, terbit angkatan itu. 

Makna Pantun Kalau ada sumur di ladang

Seperti yang telah sedikit disinggung di atas, pantu kalau ada sumur di ladang adalah pantun perpisahan. Amati saja isinya:

Kalau ada sumur di ladang

Boleh kita menumpang mandi

Kalau ada umur yang panjang

Boleh kita berjumpa lagi


Isi pantun di atas terdapat pada dua baris terakhir, jika ada umur panjang (meskipun sudah berpisah) kelak kita akan dapat berjumpa lagi. 

Kata boleh pada isi pantun di atas memiliki makna yang beririsan dengan dapat atau bisa. Karena Novel Sitti Nurbaya ditulis oleh orang Melayu, maka pemaknaannya harus memperhatikan penggunaan kata boleh dalam bahasa Melayu. 

Pantun di atas, digunakan untuk mengungkapkan harapan saat berpisah. Dengan harapan meskipun berpisah jauh, luar kota, luar pulau tapi kalau ada umur yang panjang, masih bisa berjumpa lagi di lain kesempatan. 

Kalau kalian, pantun klasik apa yang paling diingat? Apakah pantun berakit-rakit? atau pantun yang lain?


Posting Komentar

0 Komentar