Siapa Membunuh Putri (13) - CCTV | oleh: Hasan Aspahani
Cerita Bersambung Karya Hasan Aspahani: Siapa Membunuh Putri bagian (13) - CCTV, sumber: disway.id
SAYA tidur di kantor lagi. Sementara. Paling tidak sampai Ferdy dapat sewa rumah. Tapi saya tak memberinya batas waktu. Badai hidupnya jauh lebih besar. Dia lebih memerlukan tempat berlindung, bersama anak, istri, dan janin yang dikandung istrinya, ketimbang saya.
Lagi pula di kantor nyaman, ada AC, di rumah hanya ada kipas angin bekas yang kubeli di kawasan barang bekas Bongkeng Seken. Sebuah kawasan abu-abu yang lain lagi di kota pulau ini. Perabot di rumah kontrakanku itu, yang tak banyak itu, semua kubeli di sini.
Ketika saya berbelanja di sana, banyak kutemui tentara di sana, duduk, mungkin berjaga, dengan senjata panjang, sambil berbincang akrab dengan para pedagang yang umumnya, kalau tidak semuanya, mereka dari Sulawesi itu. Kata Ustad Samsu, yang juga dari Sulawesi itu, kalau berbelanja di situ cobalah tawar dengan bahasa Bugis, maka barang yang sudah murah bisa jadi jauh lebih murah. Barang-barang untuk pesantren Alhidayah banyak yang dia beli di situ.
Malam itu Yon datang ke kantor. Ia tahu saya tidur di kantor. Ia ajak saya menonton Katon Bagaskara di It’s No Name Café. Di kota ini, kafé yang selalu ramai itu popular dengan singkatannya, Inn Café. Secara berkala mereka datangkan artis dari Jakarta.
ADVERTISEMENT
Yon masih di Metro Kriminal, tapi kami masih sering ketemu. Di Inn Café, Yon sudah seperti lurahnya. Uangnya tak laku. Kasir menolak tiap kali ia bayar tagihan. Kata Yon, sebagai gantinya ia bernyanyi dengan home band, dua tiga lagu jadilah. Yon menang banyak tiap malam. Makan minum gratis, bisa tampil nyanyi lagi. Paling dia kasih tip buat cewek pendamping. Dalam hal ini seleranya bagus dan dia royal kasih tip. Untungnya Yon, penyanyi yang baik. Saya kira banyak juga penggemarnya di antara para pengunjung rutin.
Kalau tak jadi jurnalis saya kira dia bisa jadi artis yang baik. Dia penghibur yang sangat menghibur. Malam itu dia sempat berduet dengan Katon. Lumayan. Bahkan bagiku hebat, dia bisa menyanyi mengimbangi vokalis KLa itu. Lagu perlahan Di Relung Kamar dan yang agak nge-beat Dengan Logika dia sikat habis. Katon berseloroh, “malam ini saya beri nama baru untuk penyanyi kita: Yon Bagaskara!”
Kami jalan dari Inn Café susuri jalan-jalan bagus di Nagata. Trotoar lebar. Jalan terang. Tak terlalu sesak tapi masih ramai. Anak-anak loper sudah jajakan Metro Kriminal edisi besok, karena memang dicetak lebih dahulu. Saya beli satu eksemplar.
Headline tentang Putri, tentang anak Putri dan AKBP Pintor yang trauma, sumbernya dari humas polisi. Bagiku itu kurang menarik. Lagi pula tak fokus pada kasusnya. Dinamika Kota tadi kupilih ambil isu lain. Kami angkat isu otopsi yang tak jelas. Bahkan mungkin tak ada. Keluarga Putri lekas-lekas bawa Putri ke Palembang untuk dimakamkan, dengan alasan mayatnya sudah membusuk. Kami menganalisis, menyajikan infografis dari fakta-fakta yang ada: kapan dinyatakan hilang, kapan ditemukan, kapan perkiraan dibunuh, kapan Runi dan anaknya ditemukan, kapan Runi dan anaknya masuk di hotel tempat mereka ditemukan menurut resepsionis hotel.
Dari fakta-fakta itu saja bisa timbul banyak pertanyaan dan bisa dibayangkan apa yang terjadi sebenarnya. Tim yang dibentuk Kapolres bergerak lamban. Itu mencurigakan. Seakan ada yang ditutupi. Humas polisi menggiring ke isu-isu yang tak pokok. Penahanan Runi belum ada kejelasan.
“Bukan ditahan. Diamankan sementara. Dia sakti utama. Ada kemungkinan mengarah ke tersangka pelaku. Kita tunggu saja hasil kerja tim penyelidik,” kata petugas humas Polresta. Ketika ditanya apa motif pembunuhan itu, polisi menjawab termasuk itu yang sedang diselidiki tim. Sampai hari itu polisi belum menemukan Awang, pacar Runi yang disebut-sebut sedang diburu itu.
“Berapa oplah sekarang Yon?” tanyaku berbasa-basi. Saya tahu berapa angkanya, karena order cetak tiap malam ada di percetakan.
“Segitu-gitu aja. Nggak seru sekarang. Nggak kayak dulu,” kata Yon.
“Nggak seru gimana?” tanyaku.
Yon bercerita suasana di dalam redaksi Metro Kriminal. Pemred dan GM baru asyik dengan diri sendiri. Ketemu pejabat sana-sini, makan dengan pengusaha. Redaksi tak diurus. Wartawan tak ada yang peduli, jalan sendiri-sendiri. Yon kecewa.
“Dur, saya boleh pindah ke "Dinamika", nggak?”
“Boleh aja kalau kamu mau. Bilang sama Bang Eel, deh,” kataku.
“Kamu bilang dulu ya? Nanti saya menghadap dia. Eh, Eel pacarana sama Nenia ya, Dur?” tanya Yon.
“Mungkin. Kenapa?”
“Sering ketemu mereka di Inn Cafe,” kata Yon.
Saya sudah usul tambah wartawan ke bang Eel. Dia setuju. Rasio anggaran redaksi masih cukup. Selain Yon, ada bergabung dua wartawan baru. Redaksi kami makin kuat. Yon dengan berita-berita hiburan yang – memang lebih berbau promosi – tapi kreatif itu bikin Dinamika Kota sempurna menggambarkan wajah kota pulau ini di halaman-halaman koran kami. Kota yang dinamis, haus hiburan. Dan berita Yon eksklusif. Hanya Yon dan Dinamika Kota yang bisa ngobrol sama Dewi Sandra sambil sarapan pagi di kamar hotel, atau menemani KD belanja lingerie di Nagata Hill.
Keterlibatan Yon dengan sangat mendalam di dunia hiburan membuka sumber informasi lain bagi Dinamika Kota terkait berita pembunuhan Putri. Suatu sore, sehabis rapat redaksi, dia ajak saya bertemu JB, Johari Bijaksana. Pemilik sejumlah karaoke di kota kami. Yang terkenal King Palace. Hari itu polisi penyidik baru saja datang ke karaokenya.
“Terkait kasus Putri, Pak?” tanya Yon.
“Datang aja ke sini, deh, cepetan. Ini headline, nih. Saya tak beri tahu media lain,” kata Johari, tokoh yang kerap jadi MC di berbagai acara resmi.
JB suguhi kami kentang goreng dan kopi pekat. “Yon, kamu sudah lama nggak main ke sini. Nggak pernah beritakan King Palace lagi nih…”
“Saya sekarang di Dinamika, Pak… Ini bosnya, nih,” kata Yon memperkenalkan saya. Tentu saja saya sudah kenal namanya dan kerap lihat foto dan sosoknya di mana-mana. Kami sedikit berbasa-basi. JB orang yang selalu necis. Berdasi dan rambut tersisir licin.
“Iyalah, saya tahulah. Wartawan top. Koran top, paling top sekarang,” kata JB. Kepadaku dia bilang, “Pak Risman sering cerita kamu ke saya, Mas Dur. Kamu ya, kalau sudah teman sama Pak Risman, berarti kita juga teman. Saya ke sini,kalau tak dibantu dia, tak akan bisa bertahan. Jadi kita teman ya, Mas Dur,” kata JB. Saya jadi ingat JB jadi MC saat peresmian Maestrocorp.
“Yes,” kata saya. “Ada info apa, Pak? Katanya tadi ada penyidik ke sini?” tanya saya.
JB bercerita tentang rekaman CCTV yang diperiksa polisi. Ia simpan salinan rekamanannya. Ia ajak kami lihat potongan rekaman itu. Seseorang yang sekilas mirip Putri dengan pakaian seksi yang mahal, kerap saya lihat di butik-butik mewah itu, di lorong ke arah pintu masuk ruang karaoke termahal di King Palace. Putri masuk, disusul beberapa detik kemudian seorang lelaki. “Coba perhatikan, kenal nggak? Tahu siapa dia?” Yon menyebut nama aktor ibukota.
“Kira-kira dialah itu. Orang bilang dulu mereka teman kuliah,” kata JB.
“Dia sering ke sini ya?”
“Sesekali. Dia kan lagi bangun resort mewah di Penangsa sana. Dia sih operator aja sebenarnya. Modalnya dari seberang.”
“Yang buat kasino itu, Pak?”
“Katanya begitu.”
Saya berpandangan dengan Yon. “Gimana kita bisa beritakan ini, ya?” kataku. Yon angkat bahu dan nyengir saja. Mungkinkah ada kecemburuan itu jadi motif pembunuhan? Saya menyimpan pertanyaan itu di kepala saya.
“Saya percaya kalian ya, kita teman ya, kalau mau beritakan jangan dari saya sumbernya,” kata JB.
“Aman, Pak.”
JB tunjukkan rekaman CCTV lain. Orang seperti sosok Putri dan AKBP Pintor bertengkar di depan pintu ruang karaoke yang sama. Tak sampai satu menit.
“Yon, kamu ketemu Winny, PR saya di kantor. Ada rilis buat besok. Sekalian, sama materi iklannya, ya…”
“Mau undang artis, Pak? Kami boleh wawancara, dong.”
“Nggak, promo rutin aja. Bayar satu jam, nyanyi bebas dua jam kalo pesan minuman tambahan. Kami wawancara Winny aja dulu. Dia juga pantes masuk Dinamika, kan? ” kata JB.
Dalam perjalanan dari King Palace ke kantor, saya merancang pertanyaan apa yang harus dibawa Ferdy dan harus ketemu siapa sumber yang tepat.
Kabar burung gaya hidup Putri yang bak artis itu sudah tersiar luas. AKBP Pintor tak berkutik di hadapan perilaku istrinya yang begitu itu. Konon karirnya bagus karena mertuanya, ayah Putri yang kini menjadi pejabat di Mabes Polri itu. Kabarnya istri-istri para perwira di Polresta sekarang pun seakan terbagi dua kubu. Ada kubu yang ikut bergaya mengumbar hidup mewah, kelompok yang seperti dikomandani oleh Putri, dan ada kubu lain yang sebaliknya tak cocok dengan gaya hidup itu.
Tapi pada umumnya, memang para perwira itu hidup mewah. Lihat saja rumahnya, selalu ada lebih dari satu mobil di garasinya. Dan itu mobil yang mahal. Saya teringat percakapan dengan Pak Rinto. “Saya tak menyalahkan mereka. Para perwira muda itu, mereka cerdas-cerdas, lekas sekali melejit pangkat dan jabatannya. Kota ini, kayak tempat penggemblengan. Dari sini, kalau lolos, pindah tugas ke tempat lain sudah pasti promosi. Di sini kesempatan untuk cari modal. Di kota ini uang mudah didapat. Ndak usah kotor-kotor amat mainnya. Kalau sudah bersentuhan dengan uang, nah, mau gak mau gaya hidup berubah. Kamu perhatikan saja. Itu yang bikin saya tak betah dan keluar dari dinas, kotor sekalian aja kotor, profesional, daripada munafik, dan tak jelas,” kata Pak Rinto.
Kami belum sampai kantor, Bang Eel menelepon.
“Ferdy diserang orang. Kamu langsung ke rumah sakit aja,” katanya. Aku minta Yon putar arah. Di rumah sakit, Ferdy terbaring pucat. Ada luka panjang di pelipisnya. Juga di punggung lengannya. Seperti bekas sabetan pisau yang ia tepis.
“Ferdy, kenapa, Ferdy? Siapa yang nyerang?”
Ferdy meringis menahan sakit. Ia perlahan membuka mata sebentar. Lalu memaksa tersenyum dan memejam lagi. (Hasan Aspahani-Bersambung)
Posting Komentar
0 Komentar
Komentarnya harus pantun ya....