Siapa Membunuh Putri (21) - Putusan Sela | oleh Hasan Aspahani
Cerita Bersambung Karya Hasan Aspahani: Siapa Membunuh Putri bagian (21) - Putusan Sela, sumber: disway.id
Catatan Adminmun: Pada bagian ini, kembali ada bagian tentang kasus kematian putri yang cukup menegangkan, juga ada kisah rasa cinta yang mendayu-dayu.
Selamat membaca:
***
DALAM satu lingkungan dengan sistem yang rusak, pasti ada pihak yang kecewa dan nyaman. Dengarkan mereka. Mereka adalah sumber terbaik bagi kerja kerja jurnalisme investigatif. Brigadir Hilmi saya kira adalah polisi yang berada pada posisi itu di jajaran Polresta Borgam.
Kami menemuinya di King Palace. Johari Bijaksana, alias Pak JB, menyediakan ruang untuk kami. Kami datang satu per satu agar gak terlalu mencolok. Brigadir Hilmi yang meminta begitu. Saya, Nurikmal, dan Ferdy menunggu sekitar lima belas menitan, sebelum dia muncul.
”Beliau, ini kalau saja polisi boleh pakai seragam cingkrang dan memelihara jenggot, saya yakin dia berjenggot dan pakai celana jingkrang,” kata Nurikmal.
”Kau kenal dia, Nur?” tanyaku.
”Kenal begitu saja, tak terlalu dekat. Saya sering ketemu dia kalau ada pengajian di masjid raya,” kata Nurikmal.
”Dia penyidik terbaik yang ada di Polresta saat ini. Banyak kasus kriminal besar dia yang tangani,” kata Ferdy.
Brigadir Hilmi datang dengan pakaian sipil. Dia seperti tidak betah berada di ruang karaoke itu. Orangnya tenang dan awas. Bicara sangat berhati-hati. Dia menyalami dan memeluk kami satu per satu. Seperti ingin mengatakan dengan pelukan itu, tolong rahasiakan pertemuan ini, dan dia percaya sepenuhnya pada kami.
”Saya tak pernah bicara langsung ke media. Karena memang bukan bagian dari tugas saya. Jadi, teman-teman, cerita saya hari ini tidak untuk diberitakan ya. Semuanya off the record. Tapi, saya harus menyampaikan ini pada teman-teman Dinamika Kota. Saya baca hanya surat kabar kalian yang tak percaya apa yang disampaikan polisi,” Brigadir Hilmi bicara langsung ke pokok persoalan.
Tak banyak dia berbasa-basi. Sambil bicara dia bergiliran memandangi kami satu per satu, seperti menganalisis apakah kami percaya dengan omongannya. Tentu saja kami percaya.
Brigadir Hilmi dan dua penyidik lainlah yang pertama memasuki rumah AKBP Pintor, tempat kejadian perkara pembunuhan Putri. Menurut laporan dan berita acara pemeriksaan yang dijadikan dasar persidangan, Putri dibunuh di kamar tidur. Itu fakta yang tak benar. Ia menemukan bekas-bekas dan jejak pembunuhan di ruang tengah. Lalu ada bekas darah dari tubuh yang diseret di lantai mengarah ke kamar.
Hanya orang yang paham penyidikan yang bisa menghilangkan jejak dengan rapi. Tapi serapi-rapinya upaya menghilangkan jejak pasti ada yang tertinggal. Ada beberapa percikan darah di benda-benda yang ada di ruang tengah itu. Dari arah datangnya percikan bisa diperkirakan di mana posisi korban dan pelaku. Dari jarak posisi korban ke percikan darah bisa diperkirakan juga alat apa yang dipakai dan mengenai bagian tubuh mana.
”Itu bisa dipastikan dengan otopsi. Kasus ini menjadi rumit, karena sejak awal direkayasa,” kata Brigadir Hilmi, dia bicara dengan sangat berhati-hati.
Kami menyimak dengan cermat. Saya seperti mendengarkan konfirmasi atas apa-apa yang telah kami beritakan.
Laporan penyidikan awal yang dibuat Brigadir Hilmi tak dipakai sama sekali. Dia dan dua penyidik awal itu pun tak disertakan dalam tim penyidik yang dibentuk Kapolresta untuk menangani kasus pembunuhan Putri. Lebih parah lagi, anggota penyidik dipilih dari satuan reskrimsus, orang-orang AKBP Pintor sendiri, yang harusnya tak menangani kasus kriminal seperti pembunuhan. Urusan satuan itu harusnya menangani perkara korupsi.
”Ketika ditemukan, mayatnya langsung dibawa ke Palembang dan dimakamkan. Tak ada otopsi. Itu sangat menyalahi prosedur. BAP yang dipakai di persidangan itu bermasalah,” kata Brigadir Hilmi.
”Bisa diperkirakan jam berapa ya, Pak, pembunuhannya dilakukan,” tanya Nurikmal. Dia memang orang yang paling analitis di antara kami bertiga.
”Pasti dilakukan saat anaknya tak ada di rumah. Pembantunya membawa anaknya ke sekolah, bersama pacarnya itu. Itu hari Jumat. Pacarnya lalu pulang. Saat itu diperkirakan Putri sudah dibunuh. Jadi antara jam itulah. Awang lalu ditawari dengan bayaran Rp50 juta seperti yang dia akui, untuk membuang mayat Putri. Itu gambaran kasar kasusnya,” kata Brigadir Hilmi.
Ia menyambung, ”seperti yang saya bilang tadi, ini bukan kasus yang rumit. Sederhana. Mudah. Menjadi rumit, berbelit karena ada upaya menutupinya. Dibuatlah rekayasa. Sebagai penyidik saya sebenarnya malu. Malu sekali.”
Di akhir pertemuan, sebelum kami berpisah Brigadir Helmi berterima kasih dan berpesan agar kami jangan takut dan jangan berhenti meragukan keterangan polisi dan mengkritisi persidangan. Dia katakan, kami telah membantu dan mendorong polisi melakukan pembenahan dimulai dari kasus ini.
Beberapa hari setelah pertemuan kami itu,sehari sebelum sidang putusan sela terjadi mutasi besar di Polresta Borgam. Posisi sejumlah perwira digeser. Tim pengusutan kasus pembunuhan Putri yang lama dibubarkan, di bawah inspeksi tim mabes Polri dibentuk tim baru. Brigadir Hilmi masuk di tim tersebut. Posisi AKBP Pintor sebagai kepala satreskrimsus pun dicopot. Dia jadi perwira nonjob.
Bagi kami putusan sela PN Borgam tak terlalu mengejutkan. Apa yang disampaikan Brigadir Hilmi membantu kami memprediksi dengan tepat apa yang hakim putuskan hari itu. Dakwaan bagi kedua tersangka dianggap tak mencukupi untuk dilanjutkan ke tahap pemeriksaan. Hakim meminta dilakukan penyidikan ulang, terutama otopsi atas korban, untuk melengkapi bukti-bukti. Hakim juga memerintahkan agar AKBP Pintor sebagai saksi diperiksa kemungkinan keterlibatannya sebagai tersangka.
Putusan sela hari itu, seperti menjadi bagian dari kemenangan kami. Kemenangan publik. Kemenangan rasa keadilan. Ibunda Putri histeris. Menyebut-nyebut pengadilan sesat, hakim jahat. Berteriak-teriak, ”anakku dibunuh, menantuku difitnah. Kalian jahat semua! Awas hukuman Tuhan nanti akan datang pada kalian!”
Sementara ayahanda Putri sepanjang sidang hingga putusan sela selesai dibacakan wajahnya merengut seperti tampang Churchill yang kesal karena cerutunya direnggut langsung dari mulutnya oleh fotografer Yousuf Karsh sebelum dijepret.
Hari-hari itu hingga berminggu-minggu kemudian oplah koran kami naik tinggi. Kadang-kadang saya berpikir apakah kami ini sedang menjual sensasi? Di saat lain saya berpikir tidak, kami sedang melayani publik, memberi rasa adil, memberi contoh bahwa keadilan bisa ditegakkan.
Rasa adil itu bisa hadir. Memang tidak mudah, tapi bisa. Ketika sampai pada pemikiran seperti itu saya merasa tak salah memilih pekerjaan sebagai wartawan. Saya merasa berguna menjalani profesi ini.
Pekerjaan kami mengawal kasus ini akan semakin panjang. Dan pasti akan semakin menarik. Kami ada pada posisi yang kukuh untuk mengikuti dan mengejar ke manapun kasus ini bergerak dengan segala eksesnya.
Sementara itu, kesibukan di redaksi yang semakin padat, membuat saya bisa melupakan Suriyana. Ah, dusta. Tak mungkin saya bisa lupakan dia. Mengikhlaskan dia menjadi milik lelaki lain saja rasanya berat. Tapi, bukankah saya sebenarnya tak pernah memiliki dia? Dan dia pun mungkin tak pernah merasa memilikiku?
Saya masih berharap Suriyana membatalkan pertunangan dan pernikahan dia dengan Azeem. Atau akan terjadi sesuatu sehingga rencana itu batal. Tak tahulah saya, cinta memang tak masuk akal, bikin imajinasi jadi jahat dan kejam.
Hati dan hari-hariku terisi dan terhibur oleh Inayah. Memenuh. Meneduh. Dia adalah terjemahan lain dari cinta. Cinta yang membuatnya berimajinasi lain. Dia beberapa kali mengajakku dan anak-anak panti yang tinggal di pesantren bermain ke pantai yang banyak terbentang di pulau-pulau yang tersambung jembatan Gortam.
Kami seperti ibu dan ayah bagi anak-anak yatim itu. Kami seperti suami istri. Dia sibuk dan cemas dengan anak-anak yang riang berenang. Sesekali menyuruh aku menyusul mereka yang bermain terlalu jauh ke tengah laut. Aku membayangkan, seperhatian itulah nanti dia mencemaskan anak-anak kami.
”Apa kabar Suriyana, Mas?” tanya Inayah.
Saya agak terkejut. Terdiam dan sejenak kami bertatapan.
”Eh, salah ya? Boleh tanya kabar dia, kan?”
”Boleh. Dia kayaknya baik-baik saja tuh...”
”Kok kayaknya?”
”Ya, karena dia tak pernah mengabari apa-apa lagi, setelah malam itu...”
Sejenak kembali kami saling diam.
”Mas, bulan depan, ayah sama ibu mau datang ke sini. Mas mau ketemu nggak?”
”Oh, tentu mau. Nanti pastinya kapan beritahu aja ya,” kataku.
Inayah lalu bercerita tentang ayahnya yang pernah menjadi wartawan dan kemudian menjadi dosen di Pekanbaru. Inayah anak sulung. Dia yang paling ingat, masa-masa ayahnya masih bekerja sebagai wartawan.
”Bangga sekali dia menjadi wartawan. Tapi tekanan-tekanan yang dia terima karena pemberitaan medianya membuat dia menyerah. Menjadi dosen bukan pekerjaannya idamannya. Meski dia sangat suka mengajar, seperti ibuku yang juga guru,” kata Inayah.
”Jadi, bakat mengajarmu itu karena ibumu juga guru dan ayahmu dosen,” kataku.
”Ya, betul. Dan saya melihat ada sosok ayah dalam dirimu, Mas. Ayah yang dulu wartawan,” kata Inayah.
”Oke, nanti kalau ketemu beliau akan saya lihat apa betul penghilatanmu. Atau kamu salah lihat karena mata hatimu rabun oleh sesuatu...”
”Sesuatu itu apa?”
”Nggak tahu. Kamu yang ngerasain...”
”Mas Abdur sok tahu ya. Kok bisa tahu apa yang kurasakan? Apa karena Mas Abdur juga sedang rabun oleh sesuatu itu?”
”Mungkin...” Lalu kami tertawa.
Anak-anak yatim itu kelelahan berenang. Mereka sibuk bermain pasir dan ada yang berbaring dan tertidur setelah menghabiskan bekal makanan. Inayah memasaknya sendiri.
Kalau dalam film-film itu, setelah percakapan seperti kami tadi, biasanya akan dilanjutkan dengan adegan kejar-kejaran dan siram-siraman air laut. Saya tersenyum membayangkan hal itu.
”Jalan, yuk...” kataku.
”Yuk,” kata Inayah, dia bergegas berdiri. Lalu berseru kepada Rodi, ”jaga adik-adikmu ya...”
Setelah jauh dari anak-anak, Inayah berlari, ”kejar aku, Mas...” Dia berlari ke arah laut. Aku mengejarnya. Dalam jarak yang cukup dekat dia dengan dua tangan menyemburkan air laut ke arahku! Sambil tertawa lepas. Kalau ini pengambilan gambar untuk adegan film, saya tak ingin mendengar sutradaranya lekas-lekas berteriak cut! Ini bukan akting. Inayah sedang memerankan dirinya sendiri dengan sangat baik. Dia makin memenuhi dan meneduhkan hatiku.(Hasan Aspahani)
Baca Juga Cerita Lengkapnya:
Siapa Membunuh Putri Bagian (1) - Kota Pulau
Siapa Membunuh Putri Bagian (2) - 20 Tahun Wartawan
Siapa Membunuh Putri Bagian (3) - Sensor Berita
Siapa Membunuh Putri Bagian (4) - Rekayasa Berita
Siapa Membunuh Putri Bagian (5) - Rapat Redaksi yang Kacau
Siapa Membunuh Putri Bagian (6) - Ajakan Bang Jon
Siapa Membunuh Putri Bagian (7) - Kunci Kamar Kos
Siapa Membunuh Putri Bagian (8) - Durian Lebat Sekebun Runtuh
Siapa Membunuh Putri Bagian (9) - Si Sopir Presiden
Siapa Membunuh Putri Bagian (10) - Beradu Headline
Siapa Membunuh Putri Bagian (11) - Tentang Inayah
Siapa Membunuh Putri Bagian (12) - Kenapa Disekap
Siapa Membunuh Putri Bagian (13) - CCTV
Siapa Membunuh Putri Bagian (14) - Edo Terpedo
Siapa Membunuh Putri Bagian (15) - Sidang yang Tegang
Siapa Membunuh Putri Bagian (16) - Dipanggil Kapolresta
Siapa Membunuh Putri Bagian (17) - Teror di Radion
Siapa Membunuh Putri Bagian (18) - Judi dan Jatah
Posting Komentar
0 Komentar
Komentarnya harus pantun ya....